Lihat ke Halaman Asli

Sudah Syariah-kah "E-Money" Kita Saat Ini?

Diperbarui: 10 Desember 2018   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sekarang kita berada pada zaman digital, di mana segala sesuatu dapat dilakukan melalui media elektronik yang dapat dilakukan dimana pun dan kapan pun, termasuk urusan keuangan. Kita bisa melakukan transfer, membayar belanjaan, atau melunasi tagihan hanya dengan melalui handphone. Karakter masyarakat sekarang yang cenderung "malas" dan mencari "kemudahan" membuat banyak inovasi alat pembayaran yang nggk ribet bermunculan. Konsep cashless sukses menjadi tren saat ini. Kita tidak perlu membawa uang tunai kemana-mana, cukup dengan satu kartu uang elektronik atau bahkan handphone. Salah satu jenis uang elektronik yang banyak digunakan oleh masyarakat saat ini adalah e-money.

Electronic money atau biasa disebut e-money merupakan alat pembayaran non tunai yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai transaksi pembayaran. Melalui e-money kita hanya perlu melakukan tap untuk melakukan transaksi pembayaran. Kehadirannya semakin dikenal masyarakat saat diwajibkannya membayar tol dengan e-money. Apakah benar e-money memberikan manfaat dan keuntungan bagi pemiliknya? Bagaimana Islam memandang konsep e-money? Apakah e-money yang beredar di pasaran sudah sesuai syariah?

Membicarakan e-money tentunya tidak lepas dari topik money atau uang itu sendiri. Banyak tokoh pemikir Muslim yang mengungkapkan konsep uang yang Islami, salah satunya adalah Abul Fadhl Ja'far bin Ali Ad-Dimasqi atau biasa dikenal Ad-Dimasqi. Uang berfungsi sebagai alat tukar dan alat hitung. Uang tidak untuk diperjual-belikan karena uang bukanlah suatu barang. Uang juga tidak boleh hanya disimpan karena menumpuk harta hukumnya haram. Uang yang kita miliki harus terus berputar agar terwujud stabilitas dalam ekonomi dan tercapai kemaslahatan umat. Ad-Dimasqi  juga berpendapat bahwa uang haruslah merupakan sesuatu yang dapat diterima secara umum dan mendapatkan kepercayaan masyarakat.

E-money jika dilihat dari sisi kegunaan, tentunya memberikan kemudahan masyarakat karena tidak perlu membawa uang banyak ketika bertransaksi. Namun, saldo atau isi dari e-money pada umumnya memiliki batas minum dan maksimum, sehingga kita tidak bisa memiliki saldo sesuai dengan jumlah yang kita inginkan. Hal ini tentu membuat fungsi e-money sebagai pengganti uang tunai menjadi tidak maksimal karena kita akan terbatas dalam melakukan transaksi. Akad pembelian e-money sering tidak jelas. 

Ketika kita ingin membeli e-money sebesar Rp30.000,00, ternyata yang kita dapatkan adalah sebuah kartu e-money dengan saldo Rp10.000,00. Harga kartu sebesar Rp20.000 tidak disebutkan secara jelas dalam transaksi. Ketidakjelasan pada akad juga terjadi saat isi ulang saldo. Saat kita top up sebesar Rp20.000,00, yang kita dapatkan adalah saldo sebesar Rp18.500,00. Adanya biaya administrasi sebesar Rp1.500,00 dalam transaksi tersebut tidak disebutkan di akad. Hal ini tentunya melanggar ketentuan keempat Fatwa DSN-MUI Nomer:116/DSN-MUI/IX/20I7 tentang Uang Elektronik Syariah.

Selain itu, jika kartu hilang, saldo yang ada pada kartu tersebut juga ikut hilang. Hal ini tentunya merugikan pemilik kartu, sedangkan bank sebagai pihak penyimpan uang akan diuntungkan. Adanya pihak yang dirugikan tentunya tidak sesuai dengan ketentuan syariah. 

Seharusnya, meskipun kartu e-money hilang, nilai uang yang ada di dalamnya dapat diklaim oleh pemilik kartu tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan keenam Fatwa DSN-MUI Nomer:116/DSN-MUI/IX/20I7. Uang yang sudah kita masukkan ke dalam saldo e-money tidak dapat kita tarik kembali atau di-uang-kan kembali. Hal ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan keenam dalam Fatwa DSN-MUI Nomer:116/DSN-MUI/IX/20I7. 

Jika e-money merupakan alat pembayaran pengganti uang, berapapun uang yang kita setor ke dalam kartu e-money akan dapat kita tarik kembali karena akad antara penerbit dengan pemegang kartu e-money adalah akad wadi'ah atau qardh

Akad wadi'ah adalah akad penitipan uang dari pemegang e-money kepada penerbit dengan ketentuan pemegang e-money dapat  mengambil, menarik, atau menggunakan kapan saja sesuai kesepakatan, sedangkan akad qardh adalah akad pinjaman dari pemegang e-money kepada penerbit dengan ketentuan bahwa penerbit wajib mengembalikan uang yang diterimanya kepada pemegang kapan saja sesuai dengan kesepakatan. 

Lantas apakah e-money sudah sesuai dengan pendapat Ad-Dimasqi? Jawabannya adalah tidak. Selain banyaknya ketidaksesuaiannya dengan syariah dan belum tercapainya kemaslahatan umat, e-money juga belum bisa diterima dan dipercaya masyarakat secara penuh sebagai uang atau alat pembayaran. 

Sebagian masyarakat menggunakan e-money karena keadaan yang memaksa mereka menggunakannya. Jika mereka tidak menggunakan e-money, maka mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh karena tidak dapat menggunakan akses jalan tol atau tidak dapat menggunakan KRL ataupun transjakarta karena fasilitas-fasilitas tersebut tidak dapat dilakukan kecuali dengan melalui uang elektronik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline