Lihat ke Halaman Asli

Farobi Fatkhurridho

Saya bekas mahasiswa sastra yang malas cari kerja

Surilah

Diperbarui: 3 Januari 2021   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surilah

Kodrat belum mati, bahkan dua hari yang lalu ia masih sempat menyiksa tetangganya. Kodrat menggoyang dan mengoyak-oyak tubuh seorang remaja. Melemparkannya ke tanah dengan tenaga lalu bola mata remaja itu dicopot dan dikunyah tepat di hadapan wajahnya sambil senyum-senyum melihat prosesi pemakaman bapak si remaja tersebut. Setelah itu Kodrat berbisik ke remaja yang sedang kesakitan dan terlentang itu.

"Kamu sudah tidak bisa melihat bapakmu lagi"

"Aaaaaaa, toloong, toloong!!"

Si remaja menjerit kesakitan dan berteriak minta tolong namun tidak ada yang mendekat. Orang-orang hanya lewat, berkerumun sejenak sambil pura-pura melengos seperti sama sekali tidak terjadi sesuatu yang serius.

Kodrat berhenti mengunyah karena teriakan dan rengekan dari si remaja ini sangat mengganggu. Lalu ia mengembalikan salah satu bola mata remaja ini ke tempat semula, dan satu bola mata lain yang tengah Kodrat koyak juga dikembalikan. Kodrat memuntahkannya tepat di rongga mata si remaja ini, karena berantakan ia coba ratakan dan ditekan-tekan menggunakan jari-jarinya lalu darah terus mengalir dengan deras.

Kodrat meninggalkan si remaja tergeletak di tanah tanpa sekalipun menengok balik. Ia tidak khawatir, apalagi ketar-ketir karena perbuatannya. Ia anggap apa yang barusan ia lakukan merupakan perbuatan terpuji yang tidak memerlukan pujian dari sesiapapun. Kodrat terus berjalan tanpa menoleh sedikitpun dan menghilang di persimpangan gang Cendrawasih IV dimana rumah si remaja tepat di sebelah kanan persimpangan apabila dilihat dari arah timur.

Remaja itu tidak tahu kemana Kodrat pergi, ia tidak bisa melihatnya lagi karena ia memang sudah tidak bisa melihat apapun kecuali gelap dan rasa sakit yang berlebihan. Si remaja tidak bergerak masih terlentang diatas tanah berjarak seratus meter dari kuburan bapaknya dan lima puluh meter dari rumahnya. Kurang lebih sudah dua jam remaja itu tidak bergerak, ia masih bernafas namun hanya sengaja tidak bergerak.

Sekali dua ia sesenggukkan hasil sisa menangisnya beberapa saat sebelumnya, perlahan ia menahan rasa sakit yang luar biasa. Kepalan tangannya sudah tidak lagi menghalangi, sinar matahari langsung menembus ke rongga matanya yang berlendir dan merah daging.

Si remaja kini tak tahu lagi bedanya melek dan merem, meskipun seketika jadi lembek kelopaknya masih bisa bergerak tapi tidak untuk melindungi ataupun menutup apapun. Remukan bola mata sebelah kanannya ia buang dari rongga matanya yang bolong. Ia tidak peduli lagi, berkat Kodrat remaja ini tidak akan melihat wajah bapaknya lagi yang telah mati.

Kodrat belum mati, bagaimana ia bisa mati kalau kematian itu adalah dirinya. Ia hidup tapi tembus benda mati, ia mati namun belum juga rela.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline