Perubahan iklim telah menjadi isu global yang memerlukan langkah konkret untuk mengurangi dampaknya. Langkah ini diperlukan mengingat banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan Iklim atau anomali cuaca tersebut.
Sebagai contoh, minggu lalu orang-orang di Eropa mengeluhkan cuaca panas yang temperaturnya mencapai 35 derajat. Mereka mengeluhkan cuaca panas memicu kelelahan pada diri mereka.
Lalu bagaimana dengan orang-orang di Negara Khatulistiwa termasuk Indonesia?
Orang-orang harus bekerja di tengah udara yang kiat panas akibat perubahan iklim dan ini tidak hanya berlangsung selama beberapa hari, tapi nyaris sepanjang tahun.
Di sektor pertanian, berbagai literatur mengungkapkan, bahwasannya pemanasan global dan perubahan iklim memicu penurunan produktivitas padi di dunia hingga 8,1% pada tahun 2022 yang lalu.
Hal itu juga menyebabkan turunnya produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian yang bermuara pada turunnya pendapatan petani itu sendiri. Tidak hanya sampai di situ, perubahan iklim atau anomali cuaca memicu peningkatan kasus penyakit tanaman dan ternak di lapangan.
Hal ini kemungkinan besar berhubungan dengan peningkatan kelembaban akibat perubahan iklim yang menyebabkan jamur dan bakteri tumbuh subur dan memiliki kondisi ideal untuk menginfeksi tanaman dan ternak.
Menilik keterangan di atas perubahan iklim secara signifikan mengancam produksi pangan global dan ini semua merupakan tantangan bagi pelaku, praktisi, pemerhati, dan pengambil kebijakan di sektor pertanian.
Di tengah tantangan ini, petani memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan pangan dan lingkungan. Salah satu cara efektif untuk membantu mengatasi perubahan iklim adalah dengan memanfaatkan pupuk organik.
Pupuk organik merujuk pada bahan-bahan alami seperti kompos, pupuk kandang, limbah tanaman, dan sisa-sisa organik lainnya.