PENDAHULUAN
Zakat adalah satu dari lima rukun islam yang Allah tetapkan untuk dijalankan oleh seluruh ummat muslim. Namun begitu, zakat yang diwajibkan tersebut ternyata tidak hanya memiliki dampak yang berdimensi teologis, namun lebih dari itu, zakat berdampak yang baik pada dimensi sosial dan ekonomi.
[1]
Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan zakat tersebut, tercatat dalam sejarah langkah ditempuh oleh umat islam. Diantaranya adalah dengan menghadirkan dasar hukum positif mengenai pengelolaan zakat dalam undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang kemudian diperbaharui dengan undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Juga tentunya dengan kehadiran KHES yang didalamnya terdapat pembahasan khusus mengenai zakat.
Pembahasan
Pengertian Dasar Hukum Zakat
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang berarti suci, berkah, tumbuh, dan terpuji. Adapaun dari segi istilah fikih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya, disamping berarti mengeluarkan jumlah tertentu itu sendiri.
[2]
Menurut etimologi yang dimaksudkan dengan zakat adalah sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan Allah untuk dikelurkan dan diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Di dalam Al-quran, Allah SWT.
Menurut para ahli hukum islam, kekayaan yang wajib dizakatkan pada dasarnya memiliki dua persyaratan pokok, yaitu barang tersebut dapat dimiliki dan juga dapat diambil manfaatnya. dari dua persyaratan utama tersebut, Yusuf Qardhawi mengemukakan beberapa persyaratan agar zakat dapat dikenakan pada harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang muslim, yaitu:[3]
Kepemilikan yang bersifat penuh.