Lihat ke Halaman Asli

Ku coba untuk merangkum (Kontemplasi diri yang naif)

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ku coba untuk merangkum, selamat mebaca!! kalau tidak abaikan saja karena pasti tidak penting untuk anda. Tapi disini, dari kata pertama “coba” aku berusaha untuk mencoba dalam melakukan apa yang telah dinyatakan. Semoga konsisten dengan perryataan yang bukan sekedar paradoks. Halah bertele-tele ini hanya apologi semu biar kelihatan banyak. Hahaha.

Bismillah dulu biar berkah...

aku ingin membongkar ke-Aku-an disini. Disadari maupun tidak disadari hanya modal nekat karena ingin melukiskan desire (hasrat atau nafsu) menembus diluar batas ke tata bahsaan. Yah maklum terlalu banyak dijelaji pemikiran ahli pemikir. Seperti yang dinyatakan oleh barthes jika ingin mengabadikan diri yang harus dilakukan adalah menulis, karena hanya dalam tulisan manusia bisa mengabadikan dirinya tentunya melalui bahasa. Dan bahasa sangat universal. Aku yakin anda pasti tahu apa itu bahasa. Intinya semua yang dapat dimengerti secara verbal maupun non verbal, bisa diindra juga. Keluar dari konteks struktur bahsa yang sesungguhnya. Nah bertele-tele lagi nih, sebenernya hanya ingin menulis puisi berdasrakan sergapan kontemplasi pribadi. Mungkin ini prolog biar kelihatannya banyak. Hehe.

“Ku coba untuk merangkum”

Seklumit tentang perjalanan hidup seseorang, sebut saja ia daun. Kenapa memilih nama daun karena daun menhasilkan udara yang segar, apa lagi kalau daun itu hijau berembun dan pastinya enak dilihat. Beda lagi kalu daun itu mengering karena musim kemarau berkepanjangan, atau penebangan, pembakaran hutan dimana-mana pasti daun itu tidak sehat, rapuh seperti ingin berkunjung pada senjanya. Daun pun hidup dimana-mana, semua umat manusia pasti tahu.

Skpetis, tapi harus melangkah. Semua orang pasti rasa.

Entah karena apapun. Tersandar sebuah anyaman rajutan kelam membingungkan.

Waktu terus melaju membongkar ruang tak bertuan dan semua pasti berubah yang ada hanya kenyataan. Hadapi atau lari? Coba anda jawab,

Pasti jawabannya adalah “Jangan lari!!!”

Jikalau ada waktu sehabis kenyataan, sang daun pun akan merangkulnya dan melebur menjadi gila. Karena itu tak mungkin ada. Walaupun semua bermula dari ketiadaan.

Skat-skat penuh dengan persekongkolan pikiran negativa dan tindakan selalu menjadi muara dalam suatu tempuhan.

Terkadang alam mencibir sang daun sehingga kering, jangan salahkan alam karena alam tidak bersalah yang bersalah adalah aku. Nah kenapa ada kata “aku” di tulisan ini?

Sudah gila kah?

Karena belum menemukan benang merah, sebenernya ada tapi di pasar tuh...

Hanya yang terlintas dijadikan tulisan, bukan galian perasaan tertoreh menjadi wacana.

Saat ini....

Kini sang daun rindu akan dekapan kupu-kupu jelita yang masih ingusan namun sekarang tumbuh dewasa.

Dimanakah kupu-kupu itu berada?

Apakah masih menyerap gegap gempita perkotaan di bawah lampu-lampu malam terhujam sinar bintang sendu?

Kemarilah permata, wahai sang dewa seperti dalam roman Arok Dedes !

Daun kini tersungkur di bawah remang kealpaan pada ruang ekosistemnya.

Jangan biarkan hal yang terbelenggu menjadi benalu,

Benalu dalam kehidupan harus dimusnahkan, enyah dari semua indra.

Sehingga bisa berjalan terus dan tidak berhenti.

Tumbuh terus tumbuh dalam dekapan nyala api menjilat

Tak ada yang bisa memadamkan.

Tapi,

Tak munafik daun membutuhkan kupu-kupu nan jelita bak kumandang adzan yang selalu konsisten mengeja lafadz-lafadz ilahi.

Tanda apakah ini?

Semua bebas memberikan konotasi....terserah!!

Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline