Petani teh telah menuruni gunung. Waktu mereka untuk bertani telah selesai dan kembali ke rumah mereka masing-masing untuk sarapan. Anwar berserta keluarga kecilnya itu berjalan kaki menuju perkebunan teh. Jalan yang mereka lalui penuh dengan batu-batu, tidak terjal hanya rawan untuk membuat orang kota seperti mereka tergelincir.
Raffa berpikir kalau dirinya telah di bawa ke dunia lain. Gunung menjulang tinggi, pepohonan rimbun dan lebat, semelir angin, dan suara air terjun yang semakin terdengar kencang di telinga. Semua itu mengundang pertanyaan dari benak Raffa, tentu sebagai seorang Ayah, Anwar, dituntut untuk bersabar, sama sepertinya dulu ketika diajak oleh Rojali mengelilingi kebun teh.
"Dimana puncak gunung itu ?"
"Jauh disana nak, perlu berjam-jam untuk mencapai puncaknya"
"Apakah kita bisa ke air terjun ? Raffa mau lihat seperti apa yang air itu"
"Itu sama seperti yang kau lihat di Youtube"
"Itu burung apa ?"
Anwar menoleh, dia melihat burung dengan corak berwarna hitam dan biru yang berada di bagian sayapnya. Burung itu hinggap di sebuah batu, "Cit, cit", burung itu seolah sedang memanggil kawannya atau bisa saja mengajak Raffa mengobrol. "Abi tidak tahu soal burung itu nak, yang jelas itu bukan burung gereja seperti yang sering kita lihat" balas Anwar, tetapi Badaruddin menyela dengan berjalan di samping Raffa, "Burung itu bernama Ciung Sumatera, beberapa waktu yang lalu burung berjenis langka ini ditemukan oleh Tim Ekspedisi Bukit Barisan. Mereka berpikir kalau burung ini telah punah dan rupanya mereka cukup lestari di Pegunungan Dempo hingga Agam". "Cantik sekali" Raffa terkesima, matanya berbinar menunjukan keinginan untuk memiliki burung itu.
"Tidak boleh, tadi paman sudah bilang toh kalau itu burung langka. Jadi kalau hewan langka itu tidak boleh dipelihara secara sembarangan" ujar Anwar sambil mencubit tipis pipih Raffa. Sebaliknya Raffa sedikit kecewa, raut muka cemberut ditampilkan.
Fajar kian merekah menuju puncak langit, tetapi daerah pegunungan ini masih begitu sejuk. Berbeda dengan di Kota Jakarta, jam 08.30 matahari tampak begitu menyengat untuk kulit. Bau parfum tidak tercium lagi kecuali bau keringat yang menyerbak. "Daerah ini memang asri Karina. Dahulu ada perusahaan yang hendak melakukan penambangan Geotermal, tetapi ditolak oleh warga setempat karena akan merusak habitat lingkungan" ujar Eka yang berjalan berdampingan dengan Karina. Mereka melihat Anwar berserta Badaruddin yang berjalan cukup jauh di depan mereka.