Hari itu adalah hari yang sibuk, Anwar harus menjalani sidang yang panjang. Sejak pagi hari buta dirinya telah keluar dari rumah tanpa mengucapkan kata selamat tinggal kepada Raffa yang masih tertidur di ranjang yang empuk. Berbekal sarapan pagi yang terdiri dari nasi goreng dan buah-buahan, Anwar terpaksa makan dan minum di antara padatnya hilir mudik kendaraan bermotor di Jakarta. Setiap sudut jalanan tidak ada yang kosong, semuanya penuh akan pekerja yang sibuk menjalankan rutinitas hariannya itu.
Anwar pada hari itu diagendakan untuk sidangg di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bagi para lawyer sidang di Jakarta merupakan sesuatu yang spesial bagi karir mereka, sebab banyak orang yang memandang kalau perkara yang disidangkan di Jakarta merupakan perkara yang tidak hanya memakan biaya yang cukup tinggi, tetapi perkara dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Kemampuan menjadi tuntutan yang harus ditunjukan oleh tiap pengacara yang bersidang di Jakarta.
Ruang tunggu sidang telah ramai oleh para pencari keadilan, tetapi Anwar merasa gelisah dia sedang menunggu salah seorang saksi yang memiliki peranan penting untuk membuat terang dalam suatu perkara. Anwar terlihat cemas akan hal itu, sekali dia melihat pintu utama pengadilan untuk memastikan apakah saksinya telah berada di pengadilan.
Tidak lama kemudian, Jaksa datang bersama dengan rekannya menyapa Anwar yang sibuk memperhatikan lingkungan sekitar.
"Hai War, apa kabar ?" tanya Rina
Anwar menoleh dan menyadari kalau musuhnya di persidangan itu telah datang, "Hai, sudah dari tadi ?"
"Barusan, setelah dirimu memarkir mobil tadi"
"Oh.. , bawa tim sekarang ?" tanya Anwar dengan memandang beberapa Jaksa yang lebih muda di belakangnya
"Mereka ini masih calon Jaksa ? cuma sebagai senior tidak enak toh kalau tidak memberikan pengalaman kepada mereka sebelum di lantik nanti. Hehehe..."
"Jangan terbuai dengan ucapan manis dia adik-adik. Nanti kalian malah diperbudak..." guyon Anwar.