"Tempat ini kacau sekali" ujar salah satu serdadu Belanda itu
"Kau benar, seharusnya ada pesta dansa yang akan dilaksanakan pada malam hari ini"
Kedua serdadu Belanda itu memantikan api pada batang rokok untuk dapat disulut. Asap rokok disemburkan ke arah langit yang biru muda itu. Kebetulan keduanya ditugaskan secara mendadak untuk dapat menginvestigasi kejadian penembakan yang terjadi di kedai minum yang bernama "Indische Bar". Kedai itu tampak porak-poranda, meja dan kursi serta perabotan lainnya telihat hancur tidak berutuh. Dinding bar dipenuhi darah serta bekas peluru. Sialnya peristiwa na'as itu memakan korban jiwa yang terdiri dari para pribumi Indonesia.
*
24 (dua puluh empat) jam sebelum kejadian. Indische Bar telihat begitu ramai. Para mayor dari militer Hindia Belanda sedang berada disana untuk sekedar bersantai dan bersundau gurau. Para Noni Belanda tengah asik menyantap kopi hangat dan Dutch Apple Pie (kue khas Belanda) sebagai cemilan manis. Busana mereka menarik perhatian, terutama bagi para Mayor bermata genit. Memang diketahui Indische Bar adalah salah satu kedai minuman terbaik se-antero Batavia, wajar apabila banyak beberapa petinggi militer dan pemerintahan Hindia Belanda hinggap kemari untuk sekedar minum-minum, akan tetapi tidak sedikit juga mencuri kesempatan untuk mencari jodoh dari para Noni Belanda itu.
Kedai tidak akan ramai apabila tidak ada musik. Pemilik Bar yang bernama Van Dirk memiliki minat yang besar pada musik jazz, oleh karena itu hampir setiap kali kedai minuman ini dibuka hingga tutup musik jazz selalu mengiringi riangnya suasana kedai ini. Namun keriangan itu pupus ketika para penumpang gelap itu datang. Mereka berjumlah 4 (empat) orang, semuanya adalah orang asli pribumi yang tinggal di Batavia.
Mereka masuk dengan lancang. Membuka pintu dan berjalan tegap seolah negeri mereka ini tidak pernah dijajah. Suasana riang itu lekas sirna, hiruk pikuk canda tawa berubah menjadi kesunyian. Semua mata tertuju pada para pribumi itu, sebab sangat jarang ada pribumi, sekalipun mereka memiliki kedudukan sosial yang berada, berani mendatangi kedai yang dipenuhi oleh para penjajah tersebut.
Para pribumi itu menarik kursi dan duduk langsung menghadap ke arah bar. Mereka duduk berjejer seperti sapi yang sedang menunggu pakannya diberikan. Bagai tidak punya urat malu, salah satu dari mereka mengeluarkan sebatang rokok, menyulutkan api pada hujung rokok dan menghisapnya begitu mendalam. Bagi kacamata para pribumi perbuatan itu adalah perbuatan yang biasa saja, berbeda dengan para kaum kulit putih Belanda yang memandang perbuatan tersebut sebagai penghinaan bagim derajat diri mereka.
"Hei Rud, kau tidak lihat kalau disini dilarang merokok" ujar Yono berbisik
"Hah ?!" Rudi berbalik dan mencari tanda "dilarang merokok". Kedua matanya menyisir setiap sudut kedai dan tidak menemukan tanda dilarang merokok disana.