Surabaya merupakan kota terbesar kedua di indonesia. Dengan jumlah penduduk sebesar 2,862,406 jiwa (Kota Surabaya Dalam Angka 2017) serta luas 326.36 km menjadikan kota ini sebagai kota metropolitan terbesar di Jawa timur sekaligus Ibukota provinsi dan pusat kegiatan. Dengan penduduk yang hampir 3 juta jiwa menyebabkan Surabaya memiliki kepadatan penduduk yang tinggi yaitu 8,463 jiwa/km2. Hal ini juga menyebabkan lahan pemukiman di Surabaya makin habis,salah satu langkah yang diambil pemerintah adalah membangun hunian vertikal.
Pengertian hunian vertikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hunian merupakan tempat tinggal; kediaman (yang dapat dihuni), vertikal adalah tegak lurus dari bawah ke atas atau kebalikannya, membentuk garis tegak lurus (bersudut 90) dengan permukaan bumi, garis horizontal, atau bidang datar.
Menurut Joseph De Chiara & John Hancock dalam Callender Time Saver Standart Mc Grow Hill (1968) adalah sebuah unit tempat tinggal yang terdiri dari Kamar Tidur, Kamar Mandi, Ruang Tamu, Dapur, Ruang Santai yang berada pada satu lantai bangunan vertikal yang terbagi dalam beberapa unit tempat tinggal.
Hunian vertikal yang di kembangkan di indonesia sendiri terdapat 3 jenis yaitu Rusunawa (Rumah susun sewa),Rusanami (Rumah susun milik), dan Apartemen. Rusunawa biasanya diperuntukkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah karena harga sewanya yang murah dan Rusunami serta Apartemen biasanya diperuntukkan untuk kalangan yang ingin tinggal di kawasan perkotaan.
Bagi penduduk muda atau keluarga baru sebenarnya tinggal di apartemen adalah pilihan yang paling tepat. Dikarenakan,generasi muda memilika tingkat produktivitas dan mobilitas yang tinggi.
Waktu di rumah praktis hanya untuk beristirahat dan momong anak. Jadi, tidak banyak waktu untuk merawat rumah, atau mengisi waktu luang di rumah. Karena itu hunian yang paling tepat,praktis dan tidak membutuhkan banyak tenaga dari pemilik untuk merawatnya adalah apartemen. Dan hunian seperti itu adalah apartemen. Namun ada pendapat sebagian orang jika apartemen kurang cocok sebagai tempat membesarkan anak.
Selain itu lokasi apartemen biasanya terletak di tengah kota yang dekat dengan berbagai pusat kegiatan (bisnis, komersial, pendidikan, kesehatan, hiburan, dan lain-lain). Untuk pasangan muda dengan mobilitas tinggi namun penghasilan masih pas-pas an, situasi ini cocok karena dengan tinggal di apartemen, mereka tidak harus mengeluarkan biaya transportasi yang besar.
Di negara-negara maju seperti Jepang,Amerika,Inggris mayoritas penduduk usia produktifnya tinggal di apartemen di dalam kota, sehingga pusat kota memadat. Hal itu didukung dengan kebijakan pemerintah bagi penduduk muda yang tinggal apartemen disana dengan memberikan keringanan pajak,sudsidi bunga,DLL.
Sementara kalangan yang lebih tua dan sudah mapan, terserah mau tinggal di mana, di dalam kota di apartemen atau di rumah biasa di pinggir kota yang lebih jauh dari pusat kota dan sedikit populasinya dan mayoritas dari mereka memilih tinggal di rumah karena kehidupan apartemen yang monoton.
Di Indonesia dan dalam kasus ini Kota Surabaya situasinya terbalik. Kalangan berusia produktif yang mobilitasnya masih tinggi dan tidak punya waktu mengurus rumah, justru tinggal di pinggir kota atau kota satelit Surabaya (Gresik,Sidoarjo,DLL) sehingga tidak efisien. Padahal, penghasilan mereka masih bertumbuh dan tergolong rendah. Sementara kalangan mapan dan berpenghasilan besar banyak yang tinggal di apartemen mewah dalam kota.
Tidak ada kebijakan atau langkah pemerintah untuk membalikkan keadaan itu. Pengembangan apartemen di surabaya diserahkan begitu saja ke mekanisme pasar. Akibatnya, mayoritas yang dipasarkan pengembang hanya apartemen untuk kalangan menengah atas dan apartemen mewah yang hanya terjangkau orang kaya. Apartemen identik dengan hunian eksklusif untuk kalangan terbatas, bukan berfungsi mengendalikan penyebaran penduduk, mengefisienkan mobilitas, mengurangi kemacetan, dan pemborosan energi, DLL.