Lihat ke Halaman Asli

Fariz Abdillah

A lifetime learner

Kepemimpinan Profetik; Oase dalam Krisis Kepemimpinan Bangsa

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13416618381113929938

Bismillaah... ba’da tahmid dan shalawat. Rasulullah bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Potongan hadits tersebut menggambarkan peran dan amanah besar yang dipikul setiap manusia. Sebuah amanah menjadi khalifah di muka bumi, bahkan ketika amanah tersebut ditawarkan kepada langit, bumi, serta gunung, amanah itu ditolaknya karena ketidakmampuan memikul amanah yang sangat berat tersebut. Tetapi, lain bagi manusia. Manusia diberikan oleh Allah berbagai potensi untuk bisa mengemban tugas dan amanahnya tersebut supaya bisa bertindak bijak dan bertanggungjawab atas segala yang dilakukan. “Memprihatinkan”, itulah sebagian besar kata representatif yang terucap diantara kita ketika ditanya mengenai pemimpin dan kondisi umat Islam saat ini, dimana semakin banyak yang meninggalkan nilai-nilai Islam dalam kontekstualitas implementasinya yang mengakibatkan tingkat kesejahteraan semakin menurun. Penulis tidak ingin membahas terlalu jauh karena fakta seperti ini dapat dilihat secara langsung di lapangan, penulis hanya ingin menekankan pada perbaikan (ishlah) diri penulis serta menganalisis akar permasalahan yang ada. Ada opini yang menyatakan bahwa saat ini kita harus mengacu pada sebuah alternatif, yaitu kepemimpinan profetik. Bukan, bukan salah berpikir seperti itu, sebenarnya bukan lagi sebagai alternatif melainkan sudah menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk kembali mengimplementasikan kepemimpinan profetik tersebut. Lalu apakah itu? berdasarkan definisinya, kepemimpinan profetik adalah kepemimpinan yang dilandaskan atas nilai-nilai luhur yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para nabi. Konsep yang dibawakan adalah bagaimana memanusiakan manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, sehingga pada akhirnya mengajak agar beriman kepada Allah SWT. Fokus penekanannya adalah memberikan pelayanan dan kebermanfaatan bagi sesama, bukan malah memanfaatkan peran yang dimiliki untuk kepentingan diri sendiri, karena itulah hakikat seorang pemimpin. Sikap kesederhanaan yang diajarkan Rasul walaupun sebagai pemimpin tertinggi umat islam, memprioritaskan kepentingan umat daripada kepentingan sendiri, serta memiliki integritas dan kecerdasan spiritual, finansial, dan intelektual merupakan sebagian kecil contoh yang dapat penulis contohkan dalam kepemimpinan profetik. Memang sulit untuk memulainya, tetapi harus dilakukan dan dilatih untuk menjadi pemimpin yang memiliki karakter sejati. Jika tidak, bukan tidak mungkin orientasinya menjadi orang yang materialis ataupun hedonis, baginya kebenarannya adalah keadaan yang menghasilkan materi menguntungkan dan membuatnya senang, tolak ukurnya pun materi dan kesenangan, sehingga tidak jarang untuk mendapatkan harta materi dan kesenangannya, sampai melanggar batasan-batasan yang seharusnya, jiwanya tamak dan seringkali kosong, bahkan tanpa arah tanpa tujuan. “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan “, (QS, An Najm (53):39-42) Maka sudah selayaknya, kita fokus menanamkan bibit-bibit pemimpin bangsa masa depan, yang mengedepankan nilai-nilai karakter luhur berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Meredam krisis kepemimpinan yang ada saat ini, memberikan kesejukan bagaikan oase di padang pasir. Maka sudah saatnya Islam meraih kejayaan mengulang siklus di masa lalu. Setiap zaman selalu ada pejuangnya, maka jadilah pejuang tangguh tak tergantikan sampai tiba masanya, dengan terus mengharapkan ridho illahi. Karena penulis percaya, bahwa sebuah perubahan akan diinisiasi oleh para pemudanya, dan perubahan adalah sebuah keniscayaan. Sebuah pilihan bagi kita, akankah membawa perubahan ke arah lebih baik atau malah lebih buruk. Kehidupan memberi umpan balik atas semua ucapan dan tindakan kita. Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita. Kehidupan akan memberikan umpan balik atas apa yang kita usahakan kepadanya dan kita hanya akan memetik apa yang pernah kita tanam. Hidup bukanlah suatu kebetulan, tapi ia adalah sebuah bayangan diri sendiri. Sebuah pengingat bagi diri sendiri. Wallahu’alam bishshowab. Jakarta, 22 April 2012 Fariz Abdillah Kepala Departemen Muslim Development Center Forum Studi Islam FEUI 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline