Lihat ke Halaman Asli

Peran dan Fungsi Hukum serta Pergulatannya dengan Manusia

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hukum dan masyarakat

Suatu wilayah (teritorial) atau negara yang mendapatkan pengakuan dari wilayah/negara lain yang didalamnya terdapat masyarakat atau penduduk adalah sesuatu yang tidak lepas dari tatanan dan aturan yang berfungsi sebagai penertib  wilayah atau negara tersebut  beserta isinya. Manusia selaku pengelola didalam wilayah dan masyarakatnya membuat aturan-aturan guna menjadikan ketertiban, keadilan dan kesejahteraan  sebagai orientasinya . Hukum yang merupakan himpunan peraturan mengikat yang didalamnya terdapat sanksi tegas, yang diciptakan oleh manusia untuk mengatur ketertiban dalam wilayah dan system sosial (interaksi masyarakat) sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan dalam lingkungan masyarakat diharapkan mampu berperan sebagaimana mestinya.

Pada hakikatnya, hukum  itu tumbuh  dan digunakan akibat dari pada peristiwa yang timbul di dalam lingkungan masyarakat yang pada saat itu masih terdapat keraguan dan kebimbangan dalam pemecahan masalahnya, sehingga hukum itu masuk dan menyatu dengan kehidupan setiap manusia yang pada teritorialnya diatur olehnya (hukum adat/tidak tertulis). Bahkan ada pakar dari yunani yang menyatakan Ubi societas ibi justicia “dimana ada masyarakat dan kehidupan disana ada hukum (keadilan). Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum dan masyarakat adalah bagian yang satu dan tidak terpisahkan sehingga tidak akan ada masyarakat jika tidak ada hukum, sebaliknya; tidak akan ada hukum tanpa masyarakat.

Setiap peristiwa hukum yang timbul didalam lingkungan sosial itu sering kali menjadi suatu problem dalam kehidupan mereka, sehingga terjadi suatu kekacauan (chaos) yang merusak system sosial tersebut. Oleh karena itu, hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu (hukum adat/tidak tertulis) tidak efektif dalam memberikan dan menjamin hak dan kewajiban masyarakat sehingga diperlukan adanya hukum secara tertulis yang menjamin suatu kepastian hukum yang mengikat dan memberikan sanksi yang tegas bagi mereka yang melawan hukum.

Jadi, hukum tidak tertulis/hukum adat yang berkembang didalam lingkungan kemasyarakatan tidaklah memberikan kepuasan atau keadilan bagi mereka yang terlibat didalamnya. Karena dalam hukum adat, aturan-aturan dan sanksinya tidak ada kejelasan yang mengakibatkan kesimpang siuran di dalam masyarakat dalam menjalankan hukum tersebut. Sehingga jika ada suatu tindakan dari pelaku delik atau “dader” yang diproses atau ditindak lanjuti dengan hukum adat, maka hukum dapat dijatuhkan berdasarkan kehendak masyarakat secara subyektif, sehingga kepastian hukum tidaklah menjadi landasan utama bagi masyarakat adat tersebut. Oleh karena itu hukum tertulis menjadi alternative guna menegakan keadilan yang objektif .

Hukum tertulis yang berupa kodifikasi dibuat berdasarkan konsensus masyarakat sehingga hukum itu timbul berdasarkan kesepakatan. Pada abad ini, hukum tertulis yang berupa undang-undang dibuat oleh eksekutif dan disetujui oleh lagislatif yang kemudian dimuat segaligus di deklarasikan dalam Lembaran Negara oleh Sekretaris Negara. Setelah undang-undang tersebut melahirkan hukum untuk senantiasa di taati demi terwujudnya tertib hukum, maka berlakulah asas fictie yang menyatakan bahwa “setiap orang dianggap telah mengetahui adanya suatu undang-undang”. Hal ini berarti bahwa tidak ada alasan bagi seseorang yang terlibat atau melanggar hukum dengan pernyataan dia tidak tahu menahu undang-undang atau hukum dan/atau peraturan yang ia langgar.

Indonesia dan hukumnya

“Indonesia adalah negara hukum”, begitulah isi pasal 1 (3) UUD tahun 1945. Negara hukum  yang dimaksud adalah negara yang dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagai landasannya, sehingga apa yang menjadi aktifitas negara tidak diperbolehkan melanggar ketentuan-ketentuan yang ada. Adapun  UUD tahun 1945 sebagai ketentuan utama yang menjadi dasar dari ketentuan perundang-undangan. Jadi, tidaklah diperkenankan undang-undang dibawahnya yang bertentangan dan tumpang tindih dengan UUD tahun 1945.

Hukum di Indonesia merupakan kolaborasi dari system hukum Eropa, hukum adat  dan hukum agama. Sebagian system yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa Kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masalalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia-Belanda (Naderlandsch-Indie). Hukum agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at lebih banyak, terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku hukum adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Indonesia.

Pada masa ini, hukum yang dibuat oleh kolonial Belanda masih banyak di berlakukan di Indonesia, diantaranya Herziene Indonesich Reglement (HIR), Wetboek Van Strafrecht (KUHP), Wetboek Van Koophandel (KUHD) dan Burgerlijke Wetboek (KUHPer). HIR ini mengatur tentang acara di bidang pidana dan perdata. Dengan berlakunya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka pasal-pasal yang mengatur hukum acara pidana dalam HIR dinyatakan tidak berlaku. Sedangkan KUHP mengatur tentang hukum dibidang pidana materiil, KUHD mengatur tentang hukum dibidang perniagaan atau perdagangan dan KUHPer mengatur dibidang keperdataan.

Walaupun demikian hukum kolonial yang berlaku pada masa ini telah mengalami banyak revisi. Pasal-pasal yang dirasa merugikan orang bumi putera atau orang Indonesia dan menguntungkan pihak kolonial telah dihapuskan. Sehingga hukum peninggalan kolonial Belanda yang berlaku di Indonesia saat ini menjadi  netral dan dirasa mampu membawa keadilan di dalam negeri.

Yang menjadi masalah dengan hukum dewasa saat ini bukanlah ketentuan warisan kolonial Belanda yang sekarang, melainkan ketentuan dari UU yang dibuat oleh legislatif dan pemerintah yang syarat kepentingan. Bahkan dewasa ini beredar isu tak sedap terkait jual beli UU di DPR, yang sangat berdampak kepada sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan besar adalah, kenapa isu itu tidak di usut tuntas oleh aparatur penegak hukum ? Apakah penyidik tidak memperoleh bukti yang kuat atau aparatur penegak hukum itu tadak mempunyai keberanian untuk mengusut tuntas kasus tersebut, karena ada ancaman di dalamnya ? wallahu’alam

Akhir-akhir ini banyak perkara hukum yang melibatkan aparatur penegak hukum itu sendiri seperti, simulator sim, suap-menyuap/gratifikasi terhadap jaksa, hakim dan aparatur hukum lainnya. Sehingga supremasi hukum dewasa ini menjadi pepesan kosong yang berisikan harapan-harapan yang tidak jelas. Hukum dirasa seperti karet yang fleksible, bisa ditarik sana-sini sesuai kebutuhan mereka yang memiliki uang untuknya. Adapun dampak dari itu adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap mereka (aparatur penegak hukum) yang seharusnya menjadi contoh untuk memperjuangkan tegaknya hukum di negeri ini. Akibat masyarakat yang sudah tidak percaya itu akan membawa dampak pula di lingkungan mereka , sehingga mereka juga enggan mentaati peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Contoh kecil, melanggar tata tertib lalu lintas, melakukan tindak kriminal, merusak fasilitas umum dan lain sebagainya.

Perkara-perkara korupsi berjamaah yang menjadi trending topic di negara ini juga semakin menjamur. Contoh kecil, perkara Bank Century yang sudah bertahun-tahun belum rampung, perkara Wisma Atlet yang pelakunya menggagas “katakan tidak pada korupsi”, perkara Cek Pelawat, gratifikasi dan lain-lain.  Penyebab daripada korupsi yang semakin menjadi budaya bangsa adalah lemahnya hukuman yang ditimpakan bagi pelakunya, sehingga tidak ada efek jera bagi para pelaku dan tidak membuat suatu ketakutan bagi orang yang akan melalukan tindak pidana korupsi.

Andaikan hukuman bagi para koruptor seperti di China yang menghukum mati koruptor yang merugikan keuangan negara, mungkin perkara korupsi dapat teratasi dan dapat dipastikan bahwa tidak ada yang berani melakukan tindak pidana korupsi tersebut.

Dari contoh-contoh perkara yang melibatkan penegak hukum dan si pembuat hukum itu adalah dosa-dosa besar yang dilakukan mereka. Dosa-dosa yang membawa kehancuran negeri, dosa-dosa yang mencoreng nama baik negara Indonesia, sehingga harus segera dilakukan taubatan nasuha bagi penyelenggara negara (eksekutif) beserta legislatif dan yudikatif sehingga tidak ada lagi praktik-praktik seperti itu di negeri ini.

Memang, potret hukum di Indonesia dewasa ini sangatlah buruk, maka keburukan daripada hukum yang ada Indonesia janganlah menjadi sesuatu yang membuat kita pesimis akan supremasi hukum. Tetapi jadikanlah realita hukum yang mengalami kemunduran di negara ini menjadi semangat motivasi kita untuk menjadi pemutus mata rantai yang menegakan hukum dimasa yang akan datang.

Kesadaran Dalam Berhukum

Peraturan-peraturan hukum haruslah ditegakkan dan junjung tinggi agar efektifitas hukum sebagai alat yang menciptakan suatu ketertiban dunia dapat berlaku sedemikian baiknya. Karenanya manusia sebagai selaku pihak yang diuntungkan daripada hukum harus pula dapat menggunakannya dengan sebaik-baiknya dan menjunjung tinggi setinggi-tingginya serta menegakkan setegak-tegaknya.

Adapun dalam menggunakan hukum tidaklah cukup dengan logika, karena logika sewaktu-waktu tidak dapat mengakomodir dan menjamin hukum berjalan dengan jujur dan adil. Sehingga dirasa hukum yang mereka jalani adalah suatu beban berat yang mereka pikul, oleh karenanya berhukum dengan hati sangatlah diperlukan agar tidak ada lagi beban atau suatu paksaan yang dirasakan manusia dalam berhukum.

Hukum yang dijalankan dengan hati akan menimbulkan kesadaran manusia dengan hukumnya, sehingga apa saja yang diperbuat atau dilakukan manusia dalam menjalani system sosial akan dengan sendirinya mentaati hukum. Bagi mereka yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum akan merasa malu dan penyesalan yang mendalam akan selalu menghantuinya.

Jepang adalah contoh negara yang berhukum dengan hati (kokoro). Mereka lebih mengutamakan hukum yang berkembang dalam masyarakatnya yang menggunakan hati ketimbang hukum modern yang terlanjur masuk menerobos hukum mereka.

Pada masa pemerintahan Meiji ingin dengan cepat memodernisasi hukum jepang waktu itu. Sewaktu jepang membuka pintu bagi masuknya bangsa barat kedalam negerinya, maka barat beranggapan, bahwa hukum jepang itu kuno dan karena itu mereka tidak mengakui yurisdiksi hukum jepang terhadap bangsa barat yang ada di jepang.

Jepang yang sangat terpukul oleh keadaan tersebut cepat-cepat memodernisasi hukumnya dengan mengikuti model Eropa, yaitu menjiplak (copied) hukum Perancis dan Jerman. Maka jadilah konstitusi Meiji yang terdiri dari 76 pasal; hukum perdata terdiri dari 1046 pasal; hukum dagang, 689 pasal; hukum pidana, 264 pasal, hukum acara perdata, 805 pasal dan hukum acara pidana, 334 pasal. Sekalian perundang-undangan tersebut diselesaikan kurang dari sepuluh tahun (1890-1898)

Walaupun demikian prestasi yang perlu diakui, hukum modern Jepang tersebut tidak dapat menyentuh prilaku orang Jepang. Menurut Robert Ozaki, hukum modern tersebut lebih merupakan kosmetik atau hiasan daripada hukum yang benar-benar dihayati dan dijalankan oleh bangsa Jepang. Bagi bangsa Jepang, hukum tersebut lebih merupakan bunyi-bunyian asing, dimulai dari bahasa, ide-ide, filsafat dan logika perundang-undangan itu adalah khas Eropa. Maka terbentang jurang keasingan antara sekalian undang-undang tersebut dengan substansi kehidupan Jepang, terutama diwilayah pedesaan. Sejak introduksi perundang-undangan Meiji, bukannya masyarakat Jepang menjadi berubah, melaikan mereka tetap berpegangan pada tradisi dan kaidah asli yang mengatur kehidupan Jepang ratusan tahun itu.

Menurut Ozaki, selama ratusan tahun bangsa Jepang dikondisikan untuk hidup dalam dan dengan hukum modern Jepang, tidak terjadi perubahan yang signifikan dalam kehidupan bangsa Jepang. Cara berfikir tradisional hanya bisa berubah sangat lambat. Adalah jauh lebih mudah untuk membuat hukum baru daripada mengubah pikiran, prilaku dan kebiasaan rakyat.

Hukum modern Jepang yang banyak menjiplak Perancis dan Jerman itu memperkenalkan tipe hukum, konsep serta asas-asas baru yang bertumpu pada individualism. Konsep hak-hak individual, hak asasi manusia diperkenalkan. Hal ini sangat bertentangan dengan kosmologi Jepang dengan kehidupan sosial yang kontekstual dan menjaga baik hubungan-hunbungan sosial yang ada.

Dalam suasana Jepang tradisional, orang tidak mempertanyakan kewajiban-kewajibannya, sedang masyarakat tidak mengizinkan orang untuk berfikir tentang hak-hak yang dimilikinya. Dalam masyarakat tradisional, setiap usaha adalah bagaikan satu satuan keluarga. Pemilik usaha tidak pernah berfikir tentang haknya untuk menyewa buruh, seperti juga seorang ayah tidak pernah berfikir tentang haknya untuk menyuruh anak-anak mengerjakan tugas-tugas kerumah tanggaan. Demikian pula seorang pekerja tidak pernah berfikir tentang haknya untuk meminta upah. Imbalan yang diterimanya dianggap sebagai pernyataan kebaikan hati, rasa kasih dan kemuliaan hati sang majikan.

Tradisi seperti itu tidak mudah untuk diubah melalui penggunaan hukum modern yang penuh dengan semangat individualisme, hak-hak individual dan sebagainya.

Perbedaan bangsa Amerika yang menggunakan akal pikiran/logika, sebagaimana umumnya negara-negara di barat dan Jepang yang berhukum didasarkan pada hati (kokoro). Perbedaan tersebut dicontohkan pada kejadian yang melibatkan orang Amerika dan orang Jepang. Mereka berdua berdiri di pinggir jalan, menunggu kesempatan menyeberang jalan, karena lampu lalu-lintas masih merah. Pada saat lalu-lintas mobil sudah sepi, orang Amerika mengajak teman Jepangnya untuk menyeberang. Jawab orang Jepang  “Kalau lampu lalu-lintas masih merah lalu saya menyeberang, muka saya ini mau saya taruh dimana?”

Begitulah sedikit gambaran sederhana tentang hukum yang dijalankan dengan hati seperti masyarakat Jepang. Maka patut kiranya apabila system penerapan hukum yang dilakukan dan dijalankan orang Jepang diterapkan pula di Indonesia, agar tercipta suatu budaya malu yang berdampak positif bagi hukum nasional.

Tatanan sosial di Indonesia adalah begitu majemuk dan kompleks, sehingga dibutuhkan kearifan dan kehati-hatian tersendiri untuk merawatnya. Apabila peringatan tersebut tidak diperhatikan, maka bagi banyak komunitas lokal, hukum nasional akan menjadi beban daripada menciptakan ketertiban dan kesejahteraan.

(Terinspirasi dari konsepsi hukum progresif Prof. Satdjipto Rahardjo)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline