Lihat ke Halaman Asli

Revisi UU Terorisme Jangan Abaikan Demokrasi dan HAM

Diperbarui: 15 Mei 2018   09:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Pasukan anti-teror dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme melumpuhkan teroris yang menguasai gedung reaktor nuklir milik Badan Tenaga nuklir Nasional di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, tangerang, Banten, Selasa (23/4/2013). Serangan teror ini merupakan simulasi ancaman serangan teror bahan kimia berbahaya dan radioaktif nuklir. (KOMPAS / LUCKY PRANSISKA)

Terorisme sebagai sebuah kejahatan telah dikategorikan kedalam kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Tentunya upaya penanggulangan kejahatan terorisme pun memerlukan pendekatan-pendekatan yang khusus pula dari sisi penegakkan hukum dan HAM.

Untuk menghasilkan sebuah produk hukum yang handal sebagai landasan dalam kegiatan kontra terorisme mutlak diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai anatomi kejahatan terorisme. Ketidakpahaman mengenai sifat kejahatan terorisme yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa akan berpotensi menimbulkan kontroversi serta polemik dalam hal penegakkan hukum.

Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia memiliki payung hukum berupa Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang tersebut memiliki embrio Perpu No. 1 Tahun 2002 yang diterbitkan sebagai respon atas peristiwa teror bom di Bali.[1]

Dalam pemberantasan tindakan pidana terorisme memiliki dua agenda utama yaitu:

1. Upaya penegakkan hukum secara adil dan transparan

2. Upaya deradikalisasi atas ideologi yang memicu aktivitas terorisme

Dan upaya-upaya tersebut telah menuai sejumlah hasil yang dapat dikatakan sukses dengan membawa pelaku ke pengadilan untuk diadili sesuai hukum yang berlaku.[2]

Sekalipun pemberantasan terorisme dan penegakkan hukum terus berjalan namun sejumlah rentetan peristiwa teror terus terjadi. Seolah mata rantai terorisme terus tumbuh dan menyebar sekalipun dibarengi upaya deradikalisasi terhadap kelompok-kelompok yang potensial diradikalisasi oleh jaringan terorisme. 

Hal ini memberikan sinyalemen bahwasanya payung hukum pemberantasan tindak pidana terorisme memerlukan revisi yang bersifat konstruktif dan kontekstual atas kondisi kekinian dan kenantian terutama sering timbulnya kritik dan tafsiran yang justru menghambat upaya kontra terorisme terutama menyangkut isu-isu kemanusian dan HAM.

Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki sejumlah masalah dalam pasal-pasalnya yang dapat ditinjau dari aspek hukum materil maupun aspek hukum formil.[3]

Menurut Nasrullah dari aspek hukum materil dalam undang-undang tersebut rentan dalam hal terjadinya multi tafsir, misalnya dalam batasan atau definisi terorisme. Pasal-pasal karet yang multi tafsir tersebut berpotensi besar timbulnya subjektivitas dari aparat penegak hukum sehingga dapat digunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk disalahgunakan dalam hal mengkriminalisasi orang atau kelompok tertentu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline