There is no social justice without social welfare, and there is no social welfare without social security. There is no social security without social solidarity. (Adagium NN)
Dalam kasus – kasus serangan teror yang terjadi di Indonesia dapat diketahui adanya benang merah antara kesejahteraan dan penegakkan hukum. Penegakkan hukum berkorelasi dengan keadilan kemudian keadilan menjadi gerbang menuju kepada kesejahteraan. Dalam hal ini adalah keadilan sosial – ekonomi. Jelas disini dapat dikatakan bahwasanya kegagalan pemerintahan dalam menciptakan kesejahteraan bagi warganya berkontribusi pada tercipta kerawanan terhadap aksi/tindakan teror yang dilakukan oleh warga negara kepada pemerintah yang kemudian juga turut menyebarkan keresahan bahkan rasa takut kepada warga negara yang lain.[1]
Namun wacana diatas agak dibantah oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyad Mbai. Ansyaad menyatakan, alasan kesenjangan sosial dan kesejahteraan hanya alibi yang dibuat-buat untuk membenarkan gerakan terorisme di mata publik.[2] Pernyataan Ansyad tersebut agaknya sedikit emosional karena pemerintah cenderung angkuh untuk mengakui bahwasanya kegagalan pemerintahan dalam hal memberikan kesejahteraan dan memberikan keadilan dalam hal penegakkan hukum merupakan salah satu faktor yang memupuk paham radikalisme yang disebarkan oleh jejaring kelompok – kelompok pelaku teror.
Meminjam istilah Gramsci, aktor – aktor terorisme tersebut lebih cocok disebut sebagai intelektual organik.[3] Aktor Intelektual aksi terorisme melakukan rekrutmen yang ditujukan kepada kelompok masyarakat terbelakang secara pendidikan dan ekonomi. Rekrutmen yang mereka lakukan tidak sekadar rekrutmen, bagi masyarakat yang termarjinalkan doktrin – doktrin radikalisme yang diberikan tidak ubahnya pelita yang menuntun kearah pembebasan dari kemiskinan. Disinilah ruang kosong pemerintah dalam memberdayakan dan mengentaskan masyarakat yang coba diambil alih oleh kelompok pelaku teror. Kelompok pelaku teror sangat menyadari bahwasanya konsep intelektual Gramsci memang ampuh digunakan sebagai metode mengkonter sebuah hegemoni hanya saja mereka membumbuinya dengan aksi kekerasan berupa teror sebagai salah satu pilihan taktisnya.
Ketidakadilan Sosial Ekonomi Katalisator Radikaliasi
Secara sederhana negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang menganut sistem ketatanegaraan yang menitik beratkan pada mementingkan kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. [4]
Adanya kesenjangan yang lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok akan menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat. Dampak tersebut akan dirasakan mulai dari rasa ketidak berdayaan masyarakat miskin, hingga berdampak buruk pada demokrasi, yang berupa mudahnya orang miskin menerima suap (menjual suaranya dalam pemilihan umum) akibat keterjepitan ekonomi, sebagaimana yang banyak disinyalir terjadi di Indonesia dalam beberapa kali pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Bahkan adanya rasa frustrasi orang miskin akan mudah disulut untuk melakukan tindakan-tindakan anarkhis bahkan aksi teror yang berakibat kontra produktif bagi perkembangan demokrasi.
Faktor geopolitik, khususnya dalam kasus negara kaya (negara maju) yang berusaha mengendalikan sumber daya minyak bumi yang dimiliki negara berkembang mendorong terjadinya serangan teroris yang ditujukan pada negara maju tersebut yang dilakukan oleh segelintir orang dari negara berkembang. Hal ini terkait dengan investasi besar – besaran yang dilakukan negara maju untuk mengeksploitasi sumber daya di negara berkembang yang menimbulkan ketidakadilan ekonomi. [5]
Faktor - faktor sosioekonomi, khususnya masalah kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan besarnya jumlah pengangguran atau generasi muda yang tidak memiliki prospek ekonomi, bisa jadi salah satu penyebab yang memberikan sumbangsih dalam mendorong terjadinya aksi - aksi terorisme. Akan tetapi, mengenai signifikansi faktor – faktor tersebut dalam menjelaskan pemicu terorisme masih diperdebatkan dan banyak memunculkan pertentangan. Maka dari itu, faktor - faktor sosioekonomi kerap kali luput dari perhatian negara maju, padahal faktor tersebut memiliki potensi menciptakan kelemahan - kelemahan yang dapat memotivasi tindakan terorisme dan memudahkan perekrutan teroris. Terkait hal tersebut, perlu adanya upaya - upaya khusus yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kelemahan – kelemahan sosioekonomi yang ada. Negara - negara maju, khususnya Amerika Serikat, dirasa mampu untuk membantu upaya penurunan angka terorisme dengan cara mengontrol konsumsi yang berlebihan (over-consumption) dan meningkatkan jumlah bantuan (aid) bagi negara - negara berkembang.[6]