Lihat ke Halaman Asli

Korps Baju Coklat dan Etika: PR bagi Polri-1

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebentar lagi akan ada suksesi di tubuh Polri. Masalah siapa yang akan menjadi Polri-1 bagi saya tidak menjadi masalah, selama sosok baru tersebut dapat merubah kinerja sekaligus citra polisi di mata masyarakat (reformasi birokrasi). Suksesi ditubuh Polri memang menarik untuk kita cermati mengingat banyak krisis yang terjadi didalam korps baju coklat itu. Secara filosofis keberadaan Kepolisian dapat dikatakan sebagai upaya untuk membangun, menumbuhkembangkan dan menjaga etika sosial ditengah-tengah masyarakat. Sayangnya, terjadi peyimpangan antara harapan dengan kenyataan yang ada. Yang terjadi justru aparat Kepolisian yang paling sering melakukan pelanggaran etika dan norma-norma sosial. Fakta, jika ada budaya pungli dan suap dalam institusi tersebut. Misalkan seseorang melaporkan kehilangan sepeda motor akan menjadi kehilangan sebuah mobil jika melapor ke polisi pun menjadi tradisi. Hal demikian semakin membuat masyarakat semakin apriori dan antipati terhadap polisi. Polisi yang seharusnya menjadi pengayom, pelindung dan pelayan mssyrakat, malah menjadi sosok yang potensial menciptakan dan menumbuhkembangkan budaya kekerasan di masyarakat. Di lain pihak, ulah kenakalan oknum polisi yang tak kenal kompromi baik di jalanan maupun di ruang kerjanya. semua ini membuat polisi jauh dari masyrakat yang seharusnya dilindungi dan diayominya. Bahkan polisi cenderung menjadi 'musuh' masyarakat dan mahasiswa yang sedang berdemonstrasi menyampaikan aspirasi rakyat. Sangat ironis memang. Saya pikir, polisi yang seringkali berulah cenderung arogan, diskriminatif bahkan represif dikarenakan mereka memposisikan diri sebagai warga kelas menengah yang membawahi warga kelas bawah. Jadi wajar saja bersikap arogan, diskriminatif bahkan represif terhadap warga kelas bawah. Sementara saat berhadapan dengan warga kelas atas (pejabat bahkan koruptor kakap) polisi akan kehilangan kewibawaan dan rasa percaya dirinya. Beberapa kasus semacam oknum polisi yang korup, rekening gendut para jenderal, terakhir kerusuhan di Buol, intervensi Australia terhadap Densus 88 dll. Ini semua membuat keresahan masyarakat akan ketidakprofesionalan polisi, meskipun keresahan semacam ini bukan hal baru kita temui. Lucunya, seperti tidak ada upaya pemerintah dan Polri untuk melakukan terobosan dalam mengubah citra buruk tersebut. Yang ada malah konflik Kepolisian dengan masyarakat bahkan di internal antar sesama petinggi-petinggi Polri. Sebagian masyrakat bahkan ada yang trauma jika melihat seragam warna coklat. Sikap aparat yang etika dan norma sosial itu dibalas masyrakat dengan melakukan pelanggaran terhadap etika dan norma sosial pula. Wajar saja, jika masyarakat menjadi keras dan beringas. Mereka tidak percaya terhadap mekanisme penegakan hukum Kepolisian sehingga yang aksi main hakim sendiri berkembang dimana-mana seolah menjadi jalan pintas. Contoh kasus insiden penusukan jemaat HKBP di Bekasi beberapa waktu yang lalu. Lalu apa guna institusi Kepolisian, jika masyarakat bisa dengan bebas main hakim sendiri? Untuk apa ada Polisi, jika kepastian hukum tak pernah ditegakkan secara konkrit oleh seluruh jajaran Pak BHD kini? Sikap skeptis itulah yang berkembang saat ini. Hanya saja, seburuk apappun polisi saat ini, kita tidak bisa memakai teori membakara rumah karena ada tikus-tikus di dalamnya. Menurut saya mengobati institusi Kepolisian yang 'sakit' ini perlu kekuatan moral seluruh masyarakat. Bagaimana pun, keberadaan polisi tetap sangat dibutuhkan masyrakat. Sebab, fungsi kepolisian itu sendiri lahir bersamaan dengan kebutuhan masyrakat terhadap perlunya jaminan kemanan, ketertiban, ketentraman dan kepatuhan atas etika serta hukum yang berlaku. Teringat pada film-film Koboi, dimana setiap kota akan menunjuk seseoranng warganya yang cakap dan memiliki integritas untuk menjadi seorang sheriff yang melindungi sebuah kota dari gangguan para bandit. Hanya dengan demikian sebuah komunitas/masyarakat bisa menumbuhkembangkan kesadaran beretika dan berbudaya untuk menegakkan hukum. Polisi dan masyarakat adalah sebuah hubungan yang bisa ditafsirkan bermacam-macam. Bisa jadi musuh atau teman, musuh apa bila polisi tidak profesional lantaran polisi juga manusia biasa yang mudah menggadaikan moral dan harga dirinya. Untuk menghindari hubungan negatif tersebut perlu ada kontrol dan evaluasi kinerja Kepolisian oleh masyarakat. Seandainya ada pejabat Kepolisian yang menyimpang, korup dan tidak becus dalam tugasnya, harus ada keberanian masyarakat untuk melancarkan tekanan politik terhadap oknum pejabat Kepolisian bersangkutan. Dengan demikian ada partisipasi dari masyarakat dalam penegakkan hukum. [caption id="attachment_261381" align="aligncenter" width="244" caption="2 Kandidat kuat Polri-1 Yang lain Pecahan Botol (metrotvnews.com)"][/caption] Sekali lagi saya tidak peduli dengan siapa yang menduduki kursi Polri-1? Mau Komjen Nanan Sukarna yang tidak becus jadi Kapolda Sumut karena tidak mampu menangani anarkisme sehingga mengakibatkan kematian seorang Ketua DPRD atau Irjen Imam Sudjarwo yang dekat dengan keluarga SBY. Tetapi yang saya khawatirkan bagaimana kinerja Kepolisian di tangan Jenderal barunya? Saya harap ada sebuah terobosan sebagai upaya perbaikan atas keresahan sekaligus keluhan masyarakat selama ini atas institusi Kepolisian yang bobrok secara etika dan moral. Karena tanpa adanya etika dalam penegakan hukum justru akan menghisap nilai-nilai keadilan itu sendiri dan meniadakan kemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline