Lihat ke Halaman Asli

Saatnya Belajar Mengkritik dan Dikritik

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Vox populi, vox Dei, mungkin ungkapan tersebut sering kali diucapkan dalam sebuah diskusi atau pun perdebatan tentang demokrasi di Indonesia. Vox populi , vox Dei, kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi suara rakyat adalah suara Tuhan. saya pikir menyamakan suara rakyat dengan suara Tuhan tidak relevan untuk sekarang ini. Suara Tuhan entah apa pun bentuknya tentu harus didengar, dipahami dan dikerjakan. Masalahnya, bagaimana seandainya kritik itu berasal dari rakyat yang dalam hal ini disamakan dengan Tuhan. Kenyataannya itu tidak ditanggapi, dilecehkan bahkan dicurigai sebagai upaya subversif. Padahal jika konsiste itu bernilai ibadah karena mndengarkan suara Tuhan jika logika tersebut dipakai.

Dikalangan elite politik, sesungguhnya juga ada yang menarik untuk disimak. Kritik-kritik yang sering terdengar pedas, sering tidak ditanggapi substansinya. Bahkan dibelokkan sebagai tuduhan yang ditujukan untuk menjatuhkan kedudukan seseorang. Kalau hal itu kebetulan menyangkut presiden, maka membuat suasana menjadi 'seram'. Betapa tidak seram kalau kalau kritik ditanggapi sebagai upaya menjatuhkan presiden? Hal ini terlepas, bahwa dalam proses demokrasi, sepnjang sesuai dengan konstitusi yang ada.

Contoh lain adalah kritik yang tidak memiliki dasar/bukti-bukti yang benar, yang ditjukan kepada lawan-lawan politiknya. Kalau kritik yang mendekati sebuah tuduhan seperti itu dilontarkan oleh seseorang yang kebetulan berkuasa, maka kritik/tuduhan yang tidak benar itu sering dianggap benar. Yang dikritik/dituduh, tidak dapat berbuat apa-apa. Atau, dengan keberanian yang dimilikinya, justru berbalik menuduh lawannya dengan kritik/tuduhan yang juga tidak berdasar/tidak benar juga. Maka, kehidupan politik kita dipenuhi insinuasi yang tidak benar atau saling tuduh dengan materi yang belum tentu benar pula. Kita agaknya belum pandai mengkritik dan belum pandai juga menerima kritik. Telinga kita mungkin cepat merah, kalau menerima kritik, sehingga yang keluar adalah insinuasi terhadap yang mengkritik dan sebaliknya. Padahal esensi dem,okrasi adalah kepandaian mengkritik dan menerima kritik secara benar serta tidak bersifat insinuatif.

Terakhir, jika kita melihat kritik yang diterima pemerintah dalam menyelesaikan masalah hubungan diplomatik yang memanas antara Indonesia-Malaysia. Kekhawatiran rakyat cukup beralasan jika mengatakan SBY lamban dan tidak tanggap, sehingga situasi semakin memanas ditingkat grass root kedua negara. SBY memang kita lihat lebih responsif terhadap isu-isu populer semacam peredaran film porno selebritis ketimbang isu strategis menyangkut hubungan diplomatik dengan negeri jiran. Ini didukung fakta dengan tidak adanya konferensi pers SBY dalam masalah Indonesia-Malaysia. Maka wajar saja jika keresahan masyarakat terus berlanjut, bergulir bagai bola salju dan kemudian diterjemahkan dalam pengajuan hak Interpelasi oleh DPR. Dimana fraksi Golkar sebagai inisiator dan tentunya akan didukung oleh oposisi (PDIP). Kita lihat saja bagaimana reaksi SBY dan Demokratnya. Apakah mereka akan mempersepsikan ini sebagai kritik yang membangun atau sebagai upaya konspirasi mengambil alih kekuasaan. Bagaimana pun juga proses politik ini harus dihargai dan dipandang sebagai mekanisme yang konstiusional dan demokratis. Idealnya memang kritikan ditangkap substansinya bukan justru defensif, mencari pembenaran dan menyerang balik. Tetapi dijawab dengan langkah dan tindakan nyata yang memuaskan.

Salah seorang founding fathers kita, Bung Hatta pernah mengatakan, bahwa salah satu prasyarat demokrasi adalah pendidikan rakyat. Tanpa pendidikan yang memadai, maka suara rakyat yang sering dipersamakan dengan suara Tuhan akan terbuka peluang untuk dimanipulasi. Semoga saja keresahan dan keluhan rakyat tidak dimanipulasi untuk kepentingan sekelompok kecil elite politik kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline