Lihat ke Halaman Asli

Berdakwah dengan Cinta

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hei, apa kabar kamu?”
“Alhamdulillah, Allah masih memberikan banyak nikmat kepada saya sampai detik ini.”
Percakapan antara dua orang yang tidak aku kenal terjadi didepanku. Aku masih terus duduk terpaku diam lalu membisu. Seakan tak ingin mengganggu obrolan mereka, akupun membuka tas dan mengambil sebuah buku. Berdakwah dengan cinta, ini judul buku yang menarik perhatianku. Bagaimana sikap kita menentukan hal baik untuk orang lain melalui media penyampaian yang santun. Obrolan mereka kudengar terus berlanjut.


“Bagaimana kesibukanmu kini?”
“Saya masih kuliah dan bekerja untuk kebutuhan kuliah saya.”

“Kalau kamu bagaimana?”
“Saya masih sibuk dengan dunia dan seisinya, sepertinya terlalu indah untuk dilewati begitu saja.”
Aku tersentak tak kuat menahan desakan nafas yang  ingin keluar dari tenggorokanku ketika salah satu orang di depanku bilang masih sibuk dengan dunia dan seisinya. Aku tak habis pikir, bagaimana bisa ia berbicara seperti itu. Aku masih terus membuka lembar demi lembar buku yang mencuri perhatianku sambil terus mendengar pembicaraan mereka. Sebenarnya aku ingin pindah tempat singgah, namun naas, semua bangku di peron ini terisi oleh aktifitas manusia lainnya. Telinga ini berfungsi untuk mendengar, wajar saja  jika aku mampu mendengar percakapan kedua orang yang jaraknya tak lebih dari satu meter didepanku ini.


“Oia, saya kemarin habis foto dengan artis terkenal. Ia favorit saya banget, bangganya saya bisa bertemu, bersalaman, dan berpose langsung dengannya.”


“Fantastis, hebat kamu. Beruntungnya kamu selalu bisa berkenalan dengan artis-artis terkenal seperti dia dan lainnya. Bahkan, waktu itu juga kamu dan keluargamu pernah berkunjung kesalah satu rumah mantan Presiden Republik Indonesia. Saya sih boro-boro, sejak ibu melahirkan saya, paling-paling hanya bisa berkenalan dengan remaja masjid, penjaga masjid, para penyapu jalanan, pengamen, peminta-minta dan yang tertinggi adalah Kyai dari sebuah pondok pesantren.Tapi, itu salah satu kebanggaan dalam cerita hidup yang telah berlalu. Saya bersyukur sekali walaupun hanya mampu bertemu orang-orang yang levelnya jauh dibawah derajat kekayaan dunia, namun, mereka semua kuyakini derajat kemuliaannya lebih tinggi di sisi Allah.”
Aku seperti melihat awan mendung persis di depan mataku. Bukan dari orang yang bercerita tentang pengalaman hidup yang sangat mengharukan. Tapi, awan mendung itu muncul dari dia yang serba berkecukupan hidupnya. Tak lama kemudian ia tertunduk lesu seperti pohon yang layu tanpa hujan. Ia seperti hilang daya semangat, lemas, dan tak ingin menatap sekitarnya.  Ia menjatuhkan badannya dan duduk terpatri di sudut peron. Entahlah, duri apa yang sudah menancap tepat di relung hatinya. Temannya, aku lihat duduk sejajar mendekati arah tumpuannya. Mungkin, ia pun tak habis pikir kenapa si teman tadi bisa berubah haluan sebegitu cepatnya.


“Maaf kawan, apakah kata-kataku tadi ada yang menyakiti hatimu?”
Aku dengar teman yang ku prediksi tak lebih tinggi tingkat kekayaannya dari temannya itu menanyakan kearah dia yang tertunduk lesu. Namun, pemandangan yang sama terjadi didepanku. Ia belum mampu menengadahkan wajahnya kearah temannya tadi.


“Kawanku, apakah engkau mendengarku? Engkau marah denganku? Apakah engkau sakit?”
Tiba-tiba dia yang sudah kehilangan daya juang menundukan kepala itu bangkit dengan seketika. Secepat kilat menyambar permukaan bumi. Wajahnya kini tak hanya mendung, guratan awan hitam sudah menjelma semakin pekat dan ada rinai hujan di pelupuk matanya. Ia terisak persis satu meter ditempat aku membuka lebih dari setengah buku yang yang berjudul Berdakwah dengan cinta.


“Kamu menangis kawanku?” Apa yang membuatmu sampai seperti itu?”


“Saya, saya, saya..”
Sambil terbata-bata kudengar dengan perlahan mulutnya mulai membuka cerita. Kulihat ada keseriusan di wajahnya melebihi rapat paripurna di gedung DPR/MPR. Ia nampak seperti habis lari berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Entahlah, bajunya basah karena keringatnya atau karena air matanya yang  juga belum menunjukan tanda akan reda.


“Terimakasih kawan, engkau telah membuka ruangan yang sudah lama tertutup rapat dalam relung hati saya. Saya memang kaya, hidup serba berkecukupan, mau minta apapun pasti diberikan. Namun, saya tak mempunyai rasa keimanan seperti dirimu yang kulihat tak terbatas.

“Apa yang kau katakan? Keimanan? Kenapa engkau mampu menangkap bahwa aku mempunyai rasa keimanan?”


“Kawanku, mungkin jika saya menjadi dirimu. Jika ada orang bertanya kepadaku tentang bagaimana kabarmu? Paling-paling aku menjawab dengan nada santai dan kujawab kabarku baik-baik saja, jika tidak sehat; aku akan menjawab kabarku begini, tidak lihat kalau aku sedang sakit. Tapi, engkau yang kulihat tak mempunyai tempat pijakan yang seimbang dan selalu menggunakan tongkat kemana-mana, kakimu bahkan hanya satu dan telah lama tiada karena tertabrak sepeda motor saat di madrasah dulu, dengan lantang dan tersenyum bahagia menjawab; Alhamdulillah Allah masih memberikan banyak nikmat sampai detik ini. Apakah itu bukan contoh keimanan yang tanpa batas wahai kawanku?”
Tak banyak berbicara, kulihat pemandangan senja yang begitu indah tepat di samping kursi panjang tua yang saat ini menjadi saksi bisu dari indahnya dakwah. Subhanallah, apa yang kulihat disampingku ini, mengapa langit senja kulihat begitu dekat sekali. Entahlah, aku sadar atau tidak buku yang kubaca seakan berbicara padaku, sudahlah, aku sudah cukup basah menahan air matamu yang terus jatuh membasahiku, engkau tidak takut aku sobek. Kereta yang kutunggu menampakan teriakannya dari jalur selatan. Ahhh, aku seakan ingin terus melihat pemandangan senja disini. Akupun menutup buku yang kubaca tadi dan bergegas masuk kedalam kereta. Dari dalam kereta yang kutumpangi, aku melihat mereka dari kaca yang buram. Ternyata pelukan hangat terjadi diantara keduanya.
Inilah Berdakwah dengan cinta. Begitu agungnya nikmat yang diberikan Allah kepada kita, namun seringkali kita mendustakannya, bahkan membanggakan diri sendiri dibandingkan orang lain. Ujub menjadi prioritas dan ria bersandar mesra dibalik semuanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline