Lihat ke Halaman Asli

Faris Farabi

Mahasiswa

Hilirisasi Nikel: Potensi Jadi Peluang atau Bernasib Malang?

Diperbarui: 11 Desember 2024   09:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Tampak hutan gundul akibat tambang nikel di Sulawesi Tengah. Foto: Auriga Nusantara.

Status Quo Pertambangan Nikel di Indonesia 

Indonesia saat ini merupakan produsen nikel terbesar di dunia, dengan cadangan nikel mencapai sekitar 23% dari total cadangan global. Nikel menjadi komoditas penting karena digunakan dalam pembuatan baterai kendaraan listrik (EV), pemerintah Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel mentah sejak 2020, hal ini meningkatkan investasi besar-besaran dalam fasilitas pengolahan bijih nikel mentah dalam negeri seperti Kawasan Industri Morowali (IMIP) di Sulawesi Tengah dan Kawasan Industri Weda Bay (IWIP) di Maluku Utara. 

Perkembangan pesat ini juga memunculkan berbagai tantangan, khususnya terkait dengan lingkungan dan sosial. Aktivitas pertambangan besar-besaran menyebabkan deforestasi yang signifikan, terutama di wilayah seperti Halmahera, yang mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati dan pelepasan emisi karbon dalam jumlah besar. Dari sisi sosial, operasi pertambangan mengganggu kehidupan masyarakat setempat. Penduduk di wilayah seperti Halmahera Tengah menghadapi deforestasi, hilangnya lahan pertanian, dan berkurangnya akses ke air bersih.

Pemerintahan Indonesia telah mengumumkan rencana untuk meninjau kepatuhan sektor tambang terhadap regulasi lingkungan dan aturan lainnya. Tindakan ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan sumber daya alam, termasuk nikel, dan dapat memengaruhi kuota produksi bagi perusahaan yang tidak patuh.

Kaya Sumber Daya, Siapa yang Panen Keuntungan?

Hilirisasi nikel menjadi salah satu kebijakan strategis pemerintah Indonesia dalam meningkatkan nilai tambah komoditas ini sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Mantan Presiden RI ke-7, Joko Widodo menyatakan bahwa program ini berhasil meningkatkan pendapatan negara hingga 17 kali lipat, dari Rp30 triliun pada 2020 menjadi Rp510 triliun di 2023.

Sebagai salah satu bahan baku utama baterai kendaraan listrik, nikel menjadi kunci ambisi pemerintah menjadikan Indonesia pemain utama dalam ekosistem kendaraan listrik global. Untuk memaksimalkan nilai tambah, pemerintah tidak hanya fokus pada produk setengah jadi seperti feronikel, nikel sulfat, dan nikel matte, tetapi juga mendorong produksi produk jadi seperti baterai dan kendaraan listrik.

Dengan berdirinya pabrik-pabrik end product, pengelolaan nikel kini jadi lebih optimal, menciptakan nilai ekonomi yang lebih besar sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok kendaraan listrik dunia. Hilirisasi nikel ini menjadi tonggak penting dalam transformasi ekonomi berbasis sumber daya alam menuju industrialisasi berkelanjutan.

Indonesia menjalin kerja sama strategis bersama China, yang menargetkan netral karbon pada 2060. Untuk mewujudkan target tersebut, China berambisi mengalihkan hampir 90 persen kendaraannya ke tenaga listrik penuh pada 2035. Dominasi China dalam penambangan bahan baku baterai juga terlihat di Indonesia, terutama melalui kawasan industri besar seperti IMIP di Sulawesi Tengah, yang diklaim sebagai pabrik bahan baku baterai terbesar di dunia. Dalam satu dekade terakhir, kawasan seluas 4.000 hektare ini telah menarik investasi senilai US$20,9 miliar (Rp327,9 triliun) dan memasok bahan baku untuk merek-merek kendaraan listrik global, seperti Tesla, Volkswagen, Ford, dan Volvo.

Sulawesi menjadi wilayah utama program hilirisasi mineral yang dipandang sebagai "kunci kemakmuran" oleh Presiden Prabowo Subianto. Per 2023, sebanyak 309 dari 373 konsesi tambang nikel berstatus clean and clear berada di Pulau Sulawesi, yang menyimpan lebih dari separuh cadangan nikel terbukti Indonesia. Pemerintahan Prabowo berkomitmen melanjutkan hilirisasi nikel yang dimulai di era Jokowi, mendorong investasi di sektor ini terus meningkat dalam beberapa tahun mendatang.

Dampak Buruk Bagi Lingkungan: Lalu Apa Yang Harus Dilakukan...

Di sisi lain, tantangan utama yang dihadapi akibat dari hilirisasi nikel adalah dampak lingkungan yang diberikan. Saat aktivitas penambangan nikel yang meningkat guna memenuhi ambisi hilirisasi, dampak negatif yang ditimbulkan bagi lingkungan tentu saja meningkat drastis. Aktivitas tambang telah menyebabkan deforestasi hutan secara ilegal yang mencapai 1.700 hektare terjadi sepanjang tahun 2018-2020 di Sulawesi Tenggara, hilangnya keanekaragaman hayati, mengurangi produktivitas nelayan, tercemarnya air laut, degradasi kualitas air akibat logam berat, meningkatnya emisi karbon di udara terutama di wilayah operasional sekitar tambang.

Adapun kerusakan lingkungan yang dihadapi oleh masyarakat dikategorikan merusak ekosistem pesisir, mengancam populasi ikan, dan mengurangi produktivitas nelayan. Hal ini disebabkan oleh proyek tambang nikel yang telah menghancurkan mata air yang menjadi sumber air minum masyarakat di sejumlah kawasan di dataran tinggi. Terlebih lagi, banyak masyarakat yang mengeluhkan mengenai kondisi air bersih yang digunakan sehari-hari berubah warnanya menjadi keruh dan dan diduga sudah tercampur dengan limbah kandungan logam berat nikel dan timbal yang melebihi nilai ambang batas yang ditetapkan dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 dan Permenkes RI Nomor 2 Tahun 2023. Akibatnya, warga sekitar hanya bisa menggunakan air untuk mandi serta cuci piring dan terpaksa membeli air dalam kemasan untuk minum dikarenakan kondisi tak layak tersebut. Tak hanya terkait pasokan air bersih dan air minum saja, ditemukan pula kondisi bawah laut dan terumbu karang berselimut lumpur sedimentasi ore nikel di kedalaman 10 meter. Hal tersebut menyebabkan kondisi air laut di pesisir desa kini berwarna kuning/coklat kemerahan yang mengakibatkan hasil tangkapan nelayan berkurang drastis karena kondisi laut yang tercemar material tambang.

Selain pencemaran air, pencemaran udara akibat penggunaan teknologi pyrometallurgy yang digunakan oleh smelter nikel menghasilkan emisi karbon yang sangat tinggi dengan rata-rata emisi dilaporkan mencapai 58,6 ton CO per ton nickel dan angka tersebut terbukti jauh melampaui rata-rata global sebesar 48 ton CO yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jejak karbon tertinggi dalam industri nikel. Tidak hanya pencemaran udara akibat kadar karbon yang tinggi, tetapi juga terdapat ketergantungan pada pembangkit listrik berbasis batubara yang dinilai bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk mengurangi emisi karbon disalahgunakan sebagai alat untuk memproduksi nikel di Sulawesi Tenggara telah menyebabkan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada penduduk setempat. 

Menilik dari Sisi Kesehatan Masyarakat: Keberlanjutan atau Kepunahan Perlahan? 

Hilirisasi nikel dan benefit besar yang diberikan untuk perkembangan perekonomian negara ini tidak sepenuhnya beneficial bagi seluruh pihak, terutama bagi kesejahteraan masyarakat. Nyatanya, dari berbagai dampak lingkungan yang telah ditimbulkan dari proses penambangan nikel tersebut, upaya-upaya pemulihan lingkungan yang dilakukan saat ini belum cukup untuk menyembuhkan alam dan seisinya. Bahkan, hanya memperparah kondisi kesehatan masyarakat dan meningkatkan risiko kesehatan masyarakat terpajan agen penyakit akibat pencemaran air, udara, dan tanah, terutama masyarakat yang berada pada sekitar kawasan industri nikel. 

Cemaran logam berat yang ada pada media lingkungan tersebut nyata dan tidak bisa terabaikan. Konsentrasi parameter pencemar seperti PM10, PM2.5 dan SO2 kian meningkat di udara seiring dengan ekspansi proses penambangan tersebut. Dampak kesehatan yang ditimbulkan melalui proses inhalasi yaitu Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), asma, bronkitis bahkan penyakit Paru-Paru Obstruktif Kronis (PPOK) kian mengkhawatirkan. Temuan tersebut diperkuat oleh faktor-faktor eksternal seperti kondisi iklim lokal seperti suhu, arah angin, dan kecepatan angin. Selain itu, kondisi perairan juga diperparah oleh cemaran logam berat seperti timbal, kadmium, dan tembaga yang mencemari sebagian besar sumber air tanah dan permukaan sehingga menyebabkan masalah kesehatan bagi masyarakat yang mengkonsumsi air tersebut karena sifat logam berat yang sulit terurai dan toksik. Dampak kesehatan yang ditimbulkan melalui mekanisme ingesti (waterborne disease) adalah infeksi saluran pencernaan, diare, gangguan sistem saraf dan kerusakan ginjal. 

Kompleksitas permasalahan tersebut harus segera diselesaikan melalui pendekatan dari berbagai sektor dan melibatkan seluruh pihak, terutama pelaku usaha dan pemerintah (pusat maupun daerah) sebagai pihak yang berwenang untuk mengatur dan memberikan legalitas hukum secara objektif untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan keadilan yang setara bagi lingkungan yang telah dirusak. Hal tersebut dapat dicapai dengan konsistensi dalam monitoring dan evaluasi terkait implementasi kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terutama dalam memantau kualitas air, udara dan tanah di sekitar wilayah pertambangan nikel. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dan edukasi kesehatan menjadi urgensi utama dalam meningkatkan awareness masyarakat yang terdampak. Upaya-upaya tersebut bertujuan untuk melindungi seluruh pihak demi mewujudkan aspek berkelanjutan bagi generasi yang akan datang dan menjaga kelestarian lingkungan secara menyeluruh dengan meliputi aspek kesehatan, well-being, sosial, dan ekonomi.


Artikel dibuat oleh: Faris Farabi, Marisa Siti Nuril Farikha, Clarissa Zefanya, dan Muhammad Hylmi Zuhayr

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline