Lihat ke Halaman Asli

Catatan Pandemi: (1) Bagaimana ini bermula

Diperbarui: 25 Oktober 2020   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat itu, tahun 2020 telah tiba. Kita semua berharap tahun ini akan menjadi tahun yang indah bagi kita. Umat manusia beramai-ramai membuat doa, harapan, dan resolusi apapun yang akan dicapai pada tahun ini. Sayangnya, manusia memiliki ketidaktahuan akan masa depan. Tuhan mempunyai kekuasaan tidak terbatas yang bisa nenentukan keadaan di esok hari. Tahun ini, di mana semua orang sudah memiliki rencana masing-masing, malapetaka itu datang.

Pada Maret 2020, dari ratusan kota dan provinsi di Indonesia, kasus pertama covid muncul di Kota Depok, Jawa Barat. Dua orang wanita, ibu dan anak, terkena covid-19. Mereka tertular oleh warna negara jepang karena hal simpel, yaitu berdansa, sebuah aktivitas yang sebelumnya tidak pernah terpikir akan menularkan penyakit.

Katanya virus ini datang dari Wuhan, sebuah kota yang memiliki pasar yang menjual hewan liar untuk dimakan. Tidak perlu saya jelaskan secara rinci, karena kita semua sudah tahu, kegemaran pendudukan Wuhan akan memakan kelelawar membuat virus ini menyebar dari hewan ke hewan, menjadi hewan ke manusia, dan berakhir menjadi manusia ke manusia. Virus ini menyebar, dari Kota Wuhan hingga ke negara lainnya, yang tadinya hanya wabah lalu mengikuti kelas akselerasi hingga sampai di pandemi.

Menanggapi ini, masyarakat merespons dengan cemas. Minimnya informasi mengenai virus ini, membuat masyarakat mengalami kepanikan. Orang-orang melakukan panic buying dengan memborong masker dalam jumlah yang banyak. Hasilnya? Stok masker menipis. Stok masker yang menipis ini membuat teori supply-demand terlihat nyata, bagaimana sebuah masker yang tadinya hanya berharga Rp25.000/kotak, menjadi Rp350.000/kotak. Hal ini diperparah oleh orang yang menimbun masker. Kabar terakhir yang saya dapat adalah banyak penimbun yang mengalami kerugian, karena masyarakat mulai memproduksi masker kain, lalu mengemis rasa iba di twitter. Selain itu, orang-orang mulai melakukan social distancing, yaitu menjaga jarak dengan orang lain (Dilanjutkan dengan perubahan istilah menjadi physical distancing, karena kita semua baru sadar bahwa kita masih bisa melakukan kontak sosial berkat adanya teknologi internet). Semua orang takut untuk menginjakkan kaki ke luar rumah, seakan-akan virus ini mondar-mandir di udara bebas. Selain itu, pemerintah bersigap dengan cepat dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar, walaupun sebelum covid-19 terdeteksi di Indonesia, beberapa tokoh pemerintah bersifat sombong karena optimis virus ini tidak akan masuk ke Indonesia. Ya, semua akan blunder pada waktunya~

Saya, yang merupakan mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Depok, merasa hidup berubah dengan cepat. Teknis perkuliahan berubah menjadi melalui daring. Semua mahasiswa yang ngekost di sekitar kampus dihimbau untuk pulang ke daerahnya masing-masing. Awalnya saya senang karena kuliah bisa dilakukan dari rumah. Namun seiring berjalannya waktu, saya merasa kuliah daring sangat membosankan. Ditambah oleh berkurangnya interaksi bersama teman-teman kuliah, selain untuk ngobrolin soal tugas. Ah, terlalu banyak bahasan mengenai kuliah daring. Kehidupan tentang perkuliahan daring akan saya ceritakan di catatan selanjutnya. 

Manusia terbiasa hidup dengan ekspektasi yang tinggi, dimana sebagian besar dari ekspektasi itu pada akhirnya tidak tercapai. Para ilmuwan di dunia, termasuk di Indonesia, berlomba-lomba untuk memprediksi kapan virus ini menghilang. Ada yang mengatakan bahwa virus ini akan hilang di akhir juli, jika masyarakat mematuhi PSBB. Sementara itu, peneliti lain memprediksi bahwa virus ini akan hilang pada bulan september. Orang-orang bersikap optimis, berharap virus ini akan hilang sesuai prediksi peneliti. Kita semua lupa bahwa prediksi ini sangat bergantung pada bagaimana respons masyarakat dalam menerapkan physical distancing. 

Sebentar lagi tahun 2020 akan usai. Bisa dibilang, semua prediksi yang sebelumnya sudah diperkirakan, ternyata keliru. Walaupun secara teknis mungkin sebenarnya prediksi peneliti tidak keliru jika PSBB berjalan sukses. Nyatanya, virus ini masih berkeliaran di sekitar kita, menulari orang-orang agar tidak dapat melakukan aktivitasnya, bahkan sampai merenggut nyawa orang yang kita sayang. Maka dari itu, catatan ini saya buat dalam mengatasi keresahan saya di masa-masa krisis ini. Saya menulis catatan pandemi ini agar semua orang dapat memahami apa yang saya pikirkan dalam pikiran saya. Kebanyakan apa yang saya bahas di sini adalah pikiran-pikiran acak yang saya dapatkan ketika sedang mandi, ketika bosan, ketika jenuh tidak dapat keluar rumah, ketika menjadi bagian dalam rundown oventhink malam saya, dan ketika saya berandai-andai jika pandemi tidak pernah ada dan hidup kita berjalan seperti semula. Saya ingin semua yang curahkan bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, agar kelak nanti, di mana umat manusia sudah menjalani kehidupan yang lebih baik, kita masih ingat di mana kita semua pernah mengalami masa-masa yang sulit, bersama-sama. Saya berharap, 100 tahun lagi, di mana sebuah pandemi akan terjadi lagi, kita semua sudah siap dan bisa menanganinya tanpa perlu mengulang masa-masa ini kembali. 

Saya sangat berharap semoga saya tidak perlu menulis banyak artikel di catatan pandemi ini, dengan harapan tidak banyak catatan yang perlu saya tulis karena sebentar lagi covid-19 akan segera hilang dalam waktu dekat. Semoga saja. 

Saya persembahkan, catatan pandemi: catatan yang berisi pikiran-pikiran yang terlintas di kepala saya, tentunya saat era pandemi. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline