Isu pengungsi Rohingya yang bermigrasi ke Indonesia telah menjadi salah satu masalah kemanusiaan paling menonjol di Asia Tenggara. Sejak gelombang pertama pengungsi tiba pada tahun 2009, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menampung mereka yang melarikan diri dari penganiayaan sistematis di Myanmar. Kedatangan pengungsi ini menunjukkan kompleksitas masalah yang mencakup hak asasi manusia, migrasi lintas batas, dan tanggung jawab regional.
Etnis Rohingya adalah kelompok minoritas yang menghadapi diskriminasi berat di Myanmar, tempat mereka tidak diakui sebagai warga negara. Sistem apartheid yang diterapkan oleh pemerintah Myanmar telah mencabut hak dasar mereka, termasuk akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan. Diskriminasi ini disertai kekerasan sistematis, seperti serangan militer yang menyebabkan ribuan orang tewas dan desa-desa dihancurkan. Sebagai respons, beberapa kelompok Rohingya melancarkan perlawanan terhadap pemerintah Myanmar, tetapi ini justru memicu represi lebih keras.
Sebagai akibat dari kondisi ini, ribuan pengungsi Rohingya memilih meninggalkan Myanmar dengan perahu, menghadapi risiko besar di laut lepas. Perjalanan mereka sering kali difasilitasi oleh jaringan perdagangan manusia yang memanfaatkan situasi mereka yang putus asa. Banyak yang terdampar di negara-negara tetangga, termasuk Indonesia, setelah mengalami penolakan dari negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, dan India.
Pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia biasanya mendarat di kawasan pesisir Aceh, sering kali setelah berhari-hari terombang-ambing di laut. Baru-baru ini, sebanyak 264 pengungsi mendarat di Pantai Seumilang, Aceh Timur, setelah perjalanan panjang selama 15 hari. Sebagian besar pengungsi ini datang dalam kondisi lemah akibat kelaparan dan penyakit. Kedatangan mereka kerap menimbulkan polemik di tingkat lokal, di mana masyarakat setempat terkadang merasa terbebani oleh kehadiran mereka.
Kehadiran pengungsi Rohingya juga memunculkan isu pengelolaan pengungsi. Indonesia bukan negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, sehingga pengelolaan pengungsi dilakukan berdasarkan kebijakan ad-hoc yang melibatkan pemerintah, organisasi internasional seperti UNHCR dan IOM, serta lembaga swadaya masyarakat. Selain itu, adanya dugaan bahwa kedatangan pengungsi dilakukan secara terorganisir oleh jaringan mafia perdagangan manusia menambah kompleksitas masalah ini. Di sisi lain, masyarakat Aceh, yang dikenal dengan semangat solidaritasnya, telah beberapa kali menunjukkan kepedulian luar biasa terhadap pengungsi dengan memberikan bantuan makanan dan tempat tinggal darurat.
Sebagai negara transit, Indonesia memainkan peran penting dalam memberikan perlindungan sementara bagi pengungsi Rohingya. Pemerintah Indonesia telah bekerja keras untuk melobi negara-negara lain agar berbagi tanggung jawab dalam menampung pengungsi. Selain itu, Indonesia juga memastikan bahwa pengungsi tidak menjadi beban bagi masyarakat lokal. Upaya ini mencakup relokasi pengungsi ke penampungan sementara dengan dukungan organisasi internasional. Misalnya, di Aceh Timur, pengungsi Rohingya dipindahkan ke kamp pengungsian yang telah disediakan, di mana kebutuhan dasar mereka ditangani oleh UNHCR dan IOM.
Namun, tantangan yang dihadapi pemerintah tidaklah kecil. Selain harus memastikan keamanan dan kesejahteraan pengungsi, Indonesia juga harus menangani resistensi masyarakat setempat yang khawatir akan dampak sosial dan ekonomi dari kehadiran pengungsi. Lebih jauh, keterbatasan dana dan infrastruktur menjadi kendala dalam memberikan bantuan yang memadai. Indonesia juga perlu terus mendorong kerja sama multilateral di tingkat ASEAN untuk menemukan solusi jangka panjang atas krisis Rohingya.
Krisis pengungsi Rohingya yang bermigrasi ke Indonesia adalah cerminan dari tantangan global dalam menangani masalah kemanusiaan lintas batas. Sebagai negara transit, Indonesia telah menunjukkan komitmen kemanusiaan yang kuat meskipun dihadapkan pada berbagai kendala. Namun, penyelesaian krisis ini memerlukan pendekatan yang lebih luas, termasuk tekanan diplomatik terhadap Myanmar, peningkatan kerja sama internasional, dan perbaikan sistem pengelolaan pengungsi di tingkat nasional. Solidaritas masyarakat Aceh dan peran aktif pemerintah Indonesia adalah contoh bagaimana nilai kemanusiaan tetap dijunjung tinggi di tengah situasi yang sulit. Kini, dunia internasional diharapkan dapat memberikan dukungan lebih besar untuk mengakhiri penderitaan etnis Rohingya secara permanen.
Referensi
Alfata, M. (2025, January 8). Diusir tiga negara, 264 imigran Rohingya akhirnya berlabuh di Aceh Timur. SerambiNews. https://aceh.tribunnews.com/2025/01/08/diusir-tiga-negara-264-imigran-rohingya-akhirnya-berlabuh-di-aceh-timur
DetikEdu. (2023, December). Asal-usul Rohingya dan alasan mereka mengungsi. DetikSumut. https://www.detik.com/sumut/berita/d-7071521/asal-usul-rohingya-dan-alasan-mereka-mengungsi