Lihat ke Halaman Asli

Faril Irfansah

Mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta

Hubungan Erat antara Retorika dan Dakwah

Diperbarui: 25 Juni 2024   00:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Oleh: Syamsul Yakin & Faril Irfansah

Dosen & Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kaitan erat antara retorika dan dakwah tidak dapat dipisahkan. Jika seni berbicara adalah definisi dari retorika, maka dakwah secara umum berarti mengajak melalui berbicara. Penggunaan bahasa yang indah dalam dakwah akan mampu memikat mad'u. Ini yang disebut sebagai bentuk dakwah billisan.

Komunikasi verbal, baik melalui lisan maupun tulisan, diakui dalam retorika. Dakwah juga memiliki bentuk dakwah billisan dan bilkitabah (tulisan). Dakwah tidak hanya mengajak melalui lisan tetapi juga melalui tulisan.

Selain itu, komunikasi nonverbal, baik tatap muka maupun tatap maya, diakui dalam retorika. Dakwah memiliki bentuk dakwah bilhal yang bisa dilakukan secara online atau offline. Bahasa tubuh dan gerakan tubuh dalam retorika dikenal sebagai penyampaian keteladanan atau role model dalam dakwah.

Perkembangan retorika dari seni berbicara menjadi ilmu berbicara sejalan dengan perkembangan dakwah dari kegiatan agama menjadi kajian agama. Retorika bermula sebagai warisan budaya dan terus berkembang, begitu pula dakwah yang berkembang menjadi ilmu dakwah yang sistematis, logis, dan dapat diverifikasi.

Menyampaikan pesan secara informatif, persuasif, dan rekreatif adalah tujuan dari retorika, sedangkan pesan dakwah yang terdiri dari akidah, syariah, dan akhlak juga disampaikan secara informatif, persuasif, dan rekreatif. Pada batas tertentu, tujuan retorika dan dakwah sama-sama bersifat edukatif.

Dalam konteks tujuan persuasif, dakwah memiliki metode bilhikmah, ceramah, dan diskusi yang harus disampaikan dengan kelembutan.

Pengembangan retorika membutuhkan penggunaan bahasa baku, yang berbasis data dan riset, syarat yang sama juga berlaku bagi dakwah, baik billisan, bilkitabah, maupun bilhal. Mad'u yang semakin kritis dan rasional juga harus diperhatikan.

Aristoteles memperkenalkan pathos, logos, dan ethos dalam retorika, ketiganya harus dimiliki oleh para dai baik secara intelektual maupun spiritual. Namun, ekspresi sedih atau gembira para dai dalam konteks pathos bukan hanya retorika semata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline