Beberapa waktu yang lalu, saya dan keluarga berkesempatan mengunjungi area Merapi, tempat terjadinya erupsi besar-besaran pada awal November tahun 2010. Rasanya begitu takjub dengan suasana disana saat ini, sangat jauh berbeda kondisinya dengan beberapa tahun lalu saat area ini terberangus kobaran awan panas dan lava pijar yang melenyapkan beberapa perkampungan di sekitarnya dan menewaskan banyak korban jiwa. Kini, berbagai macam pepohonan baik itu tanaman keras, tanaman semusim, maupun perdu-perduan mulai mengembalikan kehijauan area Merapi. Melihat area merapi yang menghijau membuat adem mata yang memandangnya, limpahan oksigen yang ditebarkan dedaunan hijau yang berfotosintesa siang itu membuat udara terasa sejuk dan segar. Kegiatan masyarakat sekitar area Merapi mulai menggeliat seolah-olah kejadian beberapa tahun silam itu tak meninggalkan trauma mendalam. Ya, mereka telah bangkit meninggalkan luka selaras dengan bangkitnya alam Merapi yang mulai menata kehidupan lestari. Meletusnya Merapi adalah kejadian alam yang tak terelakkan karena terjadi pada siklusnya, namun sepertinya Merapi enggan membuat masyarakat kecil sengsara, segeralah dia berbenah mengembalikan kelestarian alam di sekitarnya.
Pepohonan adalah salah satu aset bumi yang berkontribusi dalam kelestarian alam yang berkelanjutan. Peranannya sebagai salah satu penjaga sumber daya air, penyumbang udara bersih dan penyokong tanah dari bahaya erosi. Gunung-gunung maupun hutan-hutan yang telah gundul harus dihijaukan kembali untuk menjaga keseimbangan alam. Jikalau alam ini masih dipenuhi dengan berbagai macam flora, maka berbagai jenis fauna pun tak akan punah, mereka berdatangan untuk ikut menjaga nuansa alam semesta. Burung-burung tak takut berkicau, monyet, harimau, dan berbagai jenis hewan lainnya akan mengisi keseimbangan alam ini. Dan bila alam ini seimbang, tak akan ada lagi masalah banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Andaikan Bumi mempunyai hati, mungkin kini dia sedang merintih, sedih dan pilu meratapi tanah-tanahnya yg subur tak digunakan lagi sesuai peruntukannya sebagai lahan pertanian, namun ironisnya malah ditanami beton-beton raksasa yang menjulang tinggi, udara pun kotor dan suhunya memanas yang membuat orang-orang tak bisa hidup tanpa AC. Semua orang menggunakan AC membuat lapisan ozon semakin menipis, dan pemanasan global pun tak dapat dihindarkan lagi. Bila saja Bumi punya mata, mungkin kini telah sembab oleh aliran air mata yang tak henti mengucur, melihat mata-mata air dieksploitasi hingga kering oleh orang-orang tamak dan tak peduli lingkungan. Dan jikalau Bumi punya mulut, dia akan berkata "Stop! Jangan sakiti ragaku lagi. Aku sudah cukup menderita oleh ulah kalian". Ini tak bisa dibiarkan. Sekali lagi, ini tak bisa dibiarkan. Kita belum terlambat dalam menyelamatkan bumi, hijaukan kembali bumi tempat kita berpijak. Berikan kembali hak bagi Bumi untuk tetap lestari yang akan menyelamatkan jiwa-jiwa yang menghuninya. Mulailah dari lingkungan keluarga, kita tanamkan kepada anak-anak kita kecintaan terhadap alam dengan menanam pohon di sekitar rumah tinggal. Menanam pohon bagaikan menabung beribu-ribu kebaikan yang akan memberikan banyak manfaat bagi generasi mendatang. Marilah kita menyambung nafasnya bumi untuk keberlanjutan alam ini, satu orang menanam satu pohon untuk menyelamatkan bumi. Semoga alam ini akan tetap lestari agar dapat dinikmati oleh anak - cucu kita di kemudian hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H