Festival Fotografi Kompas (FFK) di Yogyakarta telah dibuka pada Rabu (1/11) malam. Selain acara utama pameran foto bertajuk "Unpublished," event yang akan berlangsung sampai 5 November 2017 ini juga akan menggelar diskusi, hunting, lomba dan workshop fotografi, serta bedah buku foto jurnalistik "Unpublished." Keseluruhan acara diadakan di gedung Museum Bank Indonesia, yang terletak di kawasan Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Foto-foto yang dipamerkan merupakan bagian dari buku "Unpublished" (2014) yang berisi 560 foto karya 22 pewarta foto Kompas. Ini merupakan kelanjutan dari pameran serupa yang telah diselenggarakan di Jakarta pada Februari silam. Sekitar 100 foto yang dipamerkan merupakan hasil kurasi oleh Jay Subyakto dan John Suryaatmadja.
Judul pameran sudah mengindikasikan bahwa semua foto tersebut belum pernah ditayangkan, atau tidak lolos tayang, di koran (cetak) Kompas. Apakah foto-foto tersebut tidak bagus kok sampai tidak bisa diterbitkan? Tidak juga. Nyatanya, foto-foto yang saya saksikan di ruang pameran sangat bagus dan menarik, punya nilai berita, informatif, dan diambil dengan teknikalitas yang tak serampangan. Lalu, kenapa tidak dimuat?
Di media pada umumnya -- koran, tabloid atau majalah -- rapat redaksi memegang kedaulatan tertinggi untuk menentukan segala hal yang akan dimuat, atau tidak dimuat, dalam terbitannya. Redaksi setiap media memiliki kebijakan editorialnya sendiri, tak dapat disamakan satu sama lainnya. Sebuah media, misalnya, mengeluarkan berita tentang A, sementara media lainnya bisa saja tidak menerbitkannya; begitu pula dengan foto-fotonya.
Kita tahu, dalam memotret suatu peristiwa, seorang pewarta pastilah tidak hanya memotret satu sampai lima frame saja, bisa puluhan bahkan ratusan frame. Kompas sendiri mengakui punya ribuan frame untuk rangkaian peristiwa kerusuhan Mei 1998, sementara yang dimuat di korannya paling-paling hanya puluhan foto.
Redaksi Kompas pastilah punya pelbagai alasan untuk tidak menerbitkannya, entah itu menyangkut kepatutan, etika, keamanan, politik, kondisi sosial dan sebagainya; barangkali bisa pula gara-gara ruang/halaman koran yang terbatas. Itulah kira-kira yang menyebabkan sebagian karya fotografer itu tak dapat dimuat di koran, yang kemudian dijuluki sebagai "foto sial" oleh Aryo Wisanggeni Gentong, seorang wartawan Kompas. Sekali lagi, sial karena tak terpublikasikan, bukan karena kualitas foto yang tak memadai.
Kita bisa menyaksikan foto karya Eddy Hasby, seorang pewarta foto Kompas, yang dihasilkan dari kegiatan meliput peristiwa lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Salah satu fotonya sangat dramatis dan berkualitas dilihat dari sisi nilai berita dan fotografi. Namun, redaksi memilih untuk tidak menerbitkannya, mungkin karena terlampau mengerikan atau kelewat sadis. Foto Eddy adalah satu dari foto-foto yang dipamerkan, juga yang terdapat dalam buku "Unpublished." Semua foto itu bisa dikatakan sebagai semacam "korban" kebijakan redaksional; semuanya tak pernah terbit di koran Kompas.
Sebenarnya dimuat atau tidak dimuat, terbit atau tak terbit, foto jurnalistik tetaplah sebagai sebuah catatan visual yang bernilai. Secara visual ia merekam peristiwa yang menjadi bagian dari sejarah kehidupan manusia, perjalanan bangsa, bahkan sejarah peradaban dunia. "Imaji fotografi jurnalistik adalah janin sejarah yang paling otentik," ujar Oscar Motuloh, pewarta foto senior dan Kepala Galeri Foto Jurnalistik Antara, dalam catatannya mengenai buku "Unpublished."
Sebelumnya, majalah bulanan National Geographic juga pernah beberapa kali membukukan foto-foto karya para fotografernya yang tidak termuat di majalahnya. Buku-buku tersebut dikabarkan laris-manis, apalagi cuma dicetak terbatas, tidak dicetak sebanyak oplah majalahnya. Ini juga terjadi pada buku "Unpublished" milik Kompas, yang kini sudah sulit didapat. "Sudah sold out, mas," kata seorang petugas pameran di Yogyakarta ketika saya menanyakan buku itu.
Penerbitan buku dan pameran foto "Unpublished" oleh Kompas ini tentunya memberi kesempatan bagi "foto-foto sial" itu untuk tampil di hadapan khalayak. Ini jauh lebih baik ketimbang foto-foto tersebut hanya ngendon di laci-laci digital di bagian dokumentasi. Selain itu, medan menjadi lebih luas bagi pewarta foto untuk mengembangkan kreativitas dan keterampilan, yang sebelumnya hanya sebatas halaman koran.
Semoga saja event ini mampu menulari media lainnya. Semakin banyak yang tertular, kian beragam catatan visual untuk melengkapi sejarah kebangsaan dan peradaban. Setelah Yogyakarta, FFK akan digelar di Surabaya (8-12/11/2017) dan Bandung (15-19/11/2017).