Perhelatan seni Festival Asia Tri (atau lebih akrab dengan julukan "Asia Tri Jogja") 2017, yang digelar pada 27-29 September lalu, memberi tontonan segar. Para seniman tradisi dan kontemporer yang terlibat, baik dari Indonesia maupun negara-negara lainnya, telah menyuguhkan repertoar-repertoar tari dan musik mereka yang sungguh kreatif sekaligus inovatif. Karya-karya mereka telah memberi semacam "vitamin" pada mata, telinga dan rasa saya.
Festival Asia Tri, sebagaimana diketahui, merupakan sebuah festival seni pertunjukan yang diprakarsai oleh seniman-seniman dari tiga negara, yakni Korea Selatan (Yang Hye Jin), Jepang (Soga Masaru) dan Indonesia (Bambang Paningron dan Bimo Wiwohatmo dari Yogyakarta). Meskipun diinisiasi oleh tiga negara, festival ini terbuka bagi para seniman dari negara manapun, tanpa memandang latar kebangsaan, ras dan keagamaan.
Event tahunan ini pertama kali digelar pada 2005 di Seoul, Korea Selatan. Yogyakarta sendiri mengawalinya pada tahun berikutnya. Untuk tahun ini, para seniman yang berkontribusi selain dari Indonesia (Cirebon, Kalimantan Tengah, Bangka, Lampung, Solo, Jakarta dan Yogyakarta), juga dari Malaysia, Singapura, Sri Lanka dan Taipei.
Beragam budaya hadir dengan indah di sini, yang mewujud dalam repertoar-repertoar gerak dan bunyi. Lebih dari 20 karya mereka suguhkan dalam festival selama tiga malam itu, yang setiap malamnya berlangsung dari sekitar pukul 19.00 hingga 22.00 WIB.
Menariknya lagi, suguhan berskala internasional itu diadakan di tengah atmosfer pedesaan, yang benar-benar jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Ya, Asia Tri Jogja diselenggarakan di tempat berjuluk Omah Petroek, sebuah rumah budaya. Bukan sebentuk bangunan, tapi ia lebih sebagai area yang memang ada bangunannya, dirimbuni pepohonan dan di sana-sini terdapat karya seni dari sejumlah seniman Yogyakarta.
Berlokasi di Karang Klethak, Wonorejo, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Omah Petroek merupakan area atau ruang terbuka, tanpa pagar, tanpa sekat terhadap lingkungan sekitarnya. Warga setempat pun bisa keluar-masuk dengan bebas di lokasi tersebut.
Dari pusat kota Yogya, ia berjarak sekitar 21 km menuju arah kawasan wisata Kaliurang. Bahkan dari Jalan Kaliurang Km 21 pun kita masih perlu masuk ke arah barat sekitar 2-3 km. Omah Petroek berada di pingiran Kali Boyong.
Pertunjukan pun digelar di panggung terbuka, yang langsung beratapkan langit. Para penonton dapat menikmati pertunjukan dengan duduk atau berdiri di sekitar panggung. Di antara penonton terlihat para warga desa sekitar yang juga turut menikmati pertunjukan gratis itu.
Saya merasa di sini semuanya menyatu dengan asyik dan unik, dari manusia, seni sampai alamnya. Di sisi lain, seni menjadi lebih dekat dengan audiensnya, yang tak lain adalah masyarakat itu sendiri. Pemilihan lokasi di lingkungan pedesaan ini dikatakan memang untuk kian merekatkan kohesi sosial.
Bambang Paningron sebagaimana dikutip gudeg.net mengemukakan, para penampil mengapresiasi tempat pertunjukan di Omah Petroek tersebut. Di tempat seperti itu, pertemuan, interaksi, dialog dan semacamnya bisa menjadi lebih intens. "Sehingga yang kita dapat bukan hanya pertunjukannya saja. Interaksinya itu yang lebih penting... karena di situ kita akan jadi jauh lebih kaya," tuturnya.
Pada festival-festival tahun sebelumnya, banyak seniman dari negara-negara lain yang telah menjadi penampil, seperti dari Austalia, Austria, Belanda, Italia, Jerman, Lebanon, Prancis dan Ukraina. Sampai jumpa di Asia Tri Jogja berikutnya.