Kopi kini sedang menjadi perbincangan di mana-mana. Maklumlah, ini sedang dalam rangka International Coffee Day (Hari Kopi Internasional) yang diperingati kemarin lusa (1/10). Ada yang merayakannya dalam bentuk festival, atau dalam bentuk diskusi, talkshow dan sebagainya, bahkan sampai melibatkan Presiden RI Joko Widodo. Saya kira semua sudah tahu dari berita yang beredar.
Belakangan ini, mungkin dalam lima tahun terakhir, kopi semakin populer setidaknya dengan melihat bertumbuhnya kedai-kedai kopi. Pertumbuhannya begitu pesat di sejumlah kota, termasuk di kota-kota kecil setingkat kabupaten. Budaya minum kopi memang sudah ada sejak dulu kala di negeri tercinta ini, tapi tradisi menikmati kopi di kedai sangat "deras" melanda dalam waktu yang relatif belum lama.
Di kampung halaman saya, Yogyakarta atau lebih akrab disebut Jogja, betul-betul saya rasakan perkembangan pesat tersebut. Bak cendawan yang tumbuh di musim hujan, begitulah kira-kira pertumbuhan kedai kopinya. Saya pilih Jogja ya karena di situlah yang paling bisa saya amati dan rasakan perkembangannya setiap hari. Kebetulan saya juga penikmat kopi.
Sekitar empat sampai lima tahun silam, hanya ada satu-dua kedai kopi yang bisa dicapai sekitar 5-10 menit dengan berkendara dari rumah saya; kini, jumlahnya sudah mencapai belasan. Di sini saya bicara tentang kedai kopi atau tempat-tempat nongkrong yang menyediakan specialty coffee, atau single origin. Maksudnya, kedai-kedai yang menyediakan kopi asli, yang kalau kita datang bisa memilih biji kopi mana yang akan diseduh, dan dinikmati tanpa gula, tanpa campuran apapun.
Sependek pengetahuan saya, menikmati kopi single origin semacam itu sekarang semakin banyak peminatnya. Tentunya ini sejauh pengamatan saya di sejumlah kedai di Jogja, terutama yang dekat rumah. Sebagian besar dari mereka adalah orang muda, dari usia mahasiswa hingga pekerja di rentang usia 25-40 tahun. Malahan di sebuah kedai yang hanya menyediakan single origin yang diseduh secara manual, mereka terlihat rela antre untuk mendapatkan secangkir kopi kesukaannya.
Dari gambaran tersebut, kita dapat melihat potensi ekonominya tidaklah kecil, mungkin dapat dibilang sangat menggiurkan. Pada November 2016 Kantor Berita Antara pernah memberitakan, realisasi ekonomi dari 600 kedai kopi yang ada di Kota Yogyakarta mencapai Rp 262,8 miliar per tahun. Itu baru di kawasan Kota Jogja saja loh, belum termasuk empat kabupaten (Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo dan Sleman) yang ada di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rumah saya berada di Sleman -- berjarak sekitar delapan kilometer dari pusat kota Jogja -- yang kini juga sudah bertebaran kedai kopi. Pastilah jumlah itu akan terus bertambah, apalagi setelah melihat potensi ekonominya begitu besar.
Perkopian yang marak di Jogja ini sepertinya kemudian direspon oleh para penggiat kopi dengan menyelenggarakan festival kopi, yang melibatkan puluhan tenant dan menyodorkan puluhan jenis kopi Nusantara. Pada 16 Agustus lalu, digelarlah "Prawiro Coffee Festival" (PCF). Tentu saja ini bukan kopinya Pak Prawiro, tapi festival kopi yang diadakan di kawasan Prawirotaman, salah satu kampung turis di Jogja. Anggi Dita, sang kreator festival tersebut yang saya temui di lokasi acara, mengatakan bahwa event ini dimaksudkan untuk memperkenalkan berbagai jenis kopi Nusantara kepada masyarakat, dan tentunya juga kepada para wisatawan asing. Tersedia 5.000 cup kopi gratis saat itu. Ini event pertama dan sukses, dan rencananya akan digelar setiap tahun.
Walikota Yogyakarta Haryadi Suyudi yang hadir di PCF memberi respon positif. Ia bahkan berjanji akan membawa festival tersebut ke Jalan Malioboro, untuk sekalian menyemarakkan HUT ke-216 Kota Yogyakarta yang jatuh pada 7 Oktober. Dan, pada Senin (2/10) malam lalu, terselenggaralah festival kopi serupa yang bertajuk "Malioboro Coffee Night," yang berlangsung mulai sekitar pukul 22.00 WIB sampai Selasa (3/10) pagi tadi. Lagi-lagi di sini disediakan seduhan kopi gratis, bahkan jumlahnya sebanyak 10.000 cup. Pengunjungnya benar-benar membludak, menyesaki Malioboro.
Dari semua perkembangan yang terjadi, tak berlebihan bila dibilang kini Jogja sudah menjadi layaknya "lautan kopi." Untuk para penikmat kopi, tak ada kesulitan lagi untuk menemukan tempat ngopi yang sesuai selera, entah itu selera akan tempat atau kopinya, dan sekaligus yang sesuai dengan kocek kita. Untuk para pebisnis kopi, lahan sepertinya masih terbuka. Untuk semua, mari kita cintai kopi Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H