Hujan yang mengguyur Yogyakarta sejak siang belum juga reda ketika senja mulai merayap. Namun ketika gelap mulai mendekap, angin sepertinya menyapu mendung yang menutup langit Taman Tebing Breksi, Yogyakarta. Jumat malam, 25 November 2016, sekitar pukul 21.00, panggung musik terbuka yang menjadi ajang peluncuran album terbaru Dewa Budjana, Zentuary, mulai digelar di area batuan breksi itu.
Selama sekitar dua jam, Budjana dan kawan-kawan memainkan belasan komposisi ciptaan lelaki yang lebih dikenal sebagai gitaris grup band Gigi itu. Nomor-nomor yang dimainkan tidak hanya yang ada di album Zentuary, tapi juga dari beberapa album sebelumnya.
Zentuary merupakan album double-CD, yang sekaligus menjadi album kesembilan dan kesepuluh sang gitaris. Album ini dapat dibeli dalam bentuk keping CD maupun digital. Saya sudah mendapatkan album digitalnya dari bandcamp.com.
Disaksikan ribuan penonton, konser yang juga bertajuk “Zentuary” ini sepertinya sejak awal dikonsep menyatu dengan alam. Setidaknya ini terlihat dari tata panggung yang terbuka, langsung beratapkan langit, dengan tebing batu kapur breksi sebagai latar belakang. Dengan tata pencahayaan menawan dan video mapping pada tebing itu, pertunjukan menjadi sangat apik sekaligus epic.
Setelah beberapa komposisi dimainkan, kabut mulai tertabur di lokasi pertunjukan, berbaur dengan atmosfer yang telah ditaburi elemen-elemen musikal dari karya Budjana. Kawasan ini memang sering berkabut. Maklumlah, Taman Tebing Breksi yang terletak di desa Sambirejo, Prambanan, Sleman ini berada di ketinggian sekitar 200 meter dari permukaan air laut.
Lokasi tersebut telah menjadi salah satu destinasi wisata baru di Yogyakarta. Sekitar setahun lalu lingkungan tebing breksi ini ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, yang prasastinya ditandatangani oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X. Penetapan itu tentunya tak lepas dari sejarah geologinya, bahwa batu kapur breksi itu adalah endapan abu vulkanik gunung berapi purba Nglanggeran.
Selain menawarkan keindahan bebatuan dan tebing breksi, dari lokasi pertunjukan kita bisa menikmati pemandangan lanskap kota Yogyakarta, menyaksikan pesawat-pesawat yang hendak lepas landas atau mendarat di Bandara Adisucipto. Jika kita naik ke puncak tebing, pemandangan yang lebih luas bisa didapat, termasuk melihat Kraton Ratu Boko, Candi Ijo dan sebagainya. Ia juga menjadi lokasi yang tepat untuk menikmati momen-momen sunset.
Selaras dengan suguhan lanskap alam menawan yang disodorkan Taman Tebing Breksi, konser “Zentuary” dari Budjana menawarkan lanskap bunyi yang luas dan, tentunya, indah untuk telinga, yang didukung penataan panggung dan pencahayaan yang membuat mata gembira.
Lanskap bunyi yang dibangun Budjana seolah menjadi pemandangan musikal yang melibatkan beragam elemen yang tertata sedemikian ritmis. Akibatnya, kita (atau setidaknya saya) dibuat tak mampu untuk tidak menggoyangkan kepala, tangan atau kaki.
Di kalangan orang-orang jazz, mungkin bangunan musiknya masuk dalam genre fusion. Budjana terlihat memadukan pelbagai unsur seperti Barat dan Timur, modern dan tradisional/etnik, bahkan ia juga melibatkan orkestra string dan sekelompok penabuh gamelan Bali. Semua itu berjalan begitu harmonis dalam setiap komposisi yang dimainkan, yang secara keseluruhan mampu menyuguhkan keelokan lanskap bunyi.
“Zentuary” yang kata Budjana merupakan penggabungan dari “Zen” dan “Sanctuary” menemukan keselarasan dengan alam Tebing Breksi. Dalam pernyataan di tengah konser, ia merasa senang karena “Zentuary” memang pas disuguhkan dalam konsep panggung yang menyatu dengan alam.