"Cantik itu tidak memiliki batasan, laki-laki pun berhak untuk tampil menjadi versi terbaiknya."
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan gender? Menurut Ikhlasiah Dalimoenthe (2021:12) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Gender, dijelaskan bahwa gender adalah peran dan tanggung jawab yang ditujukan kepada laki-laki dan juga perempuan. Peran ini ditetapkan oleh masyarakat dan budaya (konstruksi sosial). Contoh sederhananya adalah warna biru sering diidentikkan dengan laki-laki, sementara warna merah muda sering diidentikkan dengan perempuan.
Istilah gender sering kali tumpang tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua kata itu merujuk pada bentuk yang berbeda. Seks merupakan pembagian jenis kelamin yang ditetapkan oleh Tuhan (Dalimoenthe, 2021). Seks merupakan suatu kodrat dari Tuhan dan pada hakikatnya tidak dapat ditukarkan. Seperti contohnya adalah perempuan yang mempunyai rahim, vagina, dapat melahirkan, dan menstruasi. Sedangkan laki-laki tentunya mempunyai jakun dan juga penis.
Pada masa Romawi Kuno di abad pertama Masehi, laki-laki dikenal mengenakan pigmen merah pada pipi, mengecat kuku menggunakan eliksir dari lemak dan darah babi, serta mencerahkan wajah dengan bedak. Sayangnya, penggunaan makeup pada laki-laki justru tidak disukai masyarakat.
Hal ini sejalan dengan kilas historisnya, yakni bertepatan pada saat Revolusi Industri sedang berlangsung dan mulai menggencarkan strategi kapitalisme. Dalam hal ini, kapitalisme telah mengonstruksi perempuan untuk membeli produk kapitalis secara impulsif. Jadi, pikiran kita telah dikonstruksi oleh kapitalisme bahwa perawatan kulit diidentikkan dengan perempuan. Padahal, laki-laki juga perlu menjaga kesehatan kulitnya, baik yang sering berada di bawah matahari maupun di ruangan ber-AC.
Pernahkah kamu mendengar pernyataan seperti ini, "Cowok yang pake skincare itu banci! Cowok yang suka makeup itu pantesnya kerja di salon kecantikan! Cowok yang punya kulit halus itu nggak pantes jadi cowok!" seru mereka yang sexist yang masih berpegang teguh pada konsep toxic masculinity.
Habib Abdurrahman Al-Habsy mengatakan bahwa laki-laki boleh menggunakan skincare atau makeup, asalkan sewajarnya saja. Jangan sampai menyerupai perempuan. "Jadi, tidak apa-apa, tapi kalau dibedakin sampai menyerupai perempuan itu baru tidak boleh," ujarnya.
Dalam hadis Nabi dikatakan bahwa, "Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan." (HR. Ath-Thabrani). Artinya, laki-laki boleh tampil indah, tetapi dengan standar laki-laki. Yang tidak boleh dalam Islam itu adalah laki-laki yang menyerupai perempuan.
Tidak dipungkiri laki-laki metroseksual (memiliki ciri-ciri kulit terawat, rambut rapi, dan gaya berpakaian yang stylish) masih kalut dirundung hanya karena menggunakan skincare atau makeup. Mirisnya, sebutan-sebutan yang tidak sepantasnya keluar dari mulut mereka seperti "plastik", "melanggar kodrat", dan "calon neraka". Sebutan-sebutan tersebut selayaknya obat berupa pil pahit yang harus ditelan oleh laki-laki yang menyenangi dunia kecantikan.
Masih minimnya pemahaman dalam menanggapi fenomena laki-laki metroseksual yang sudah sedemikian menggurita dan epidemik, membuat segelintir masyarakat gelap mata. Lantaran makian serta pandangan sexist masih menjamur, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Oleh karenanya, masyarakat harus lebih terbuka dalam kebaruan ini dan menerima eksistensi setiap laki-laki metroseksual memakai skincare atau makeup tanpa cepat-cepat berspekulasi ataupun menghakimi.