Lihat ke Halaman Asli

Farid Muzaki

Mahasiswa Pascasarjana

Rempang dan Kedaulatan NKRI

Diperbarui: 30 Oktober 2023   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Publik umumnya mengetahui adanya konflik di Rempang berdasarkan berita media massa, dimana terjadi bentrokan antara masyarakat (atas nama 16 Kampung Tua) di Pulau Rempang dengan aparatur Pemerintah (Polri, TNI dan BP Batam) 7 September 2023. Bentrokan dipicu atas penolakan masyarakat terhadap upaya paksa pengukuran lahan untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City (REC) yang akan menggunakan lahan wilayah pulau seluas sekitar 16.500 hektar. Pembangunan REC akan mengakibatkan penggusuran atau pemindahan paksa sekitar 7.500 orang masyarakat adat Pulau Rempang yang berasal dari 16 kampung adat Melayu Tua yang telah menempati kawasan tersebut sejak tahun 1800-an.

Pemerintah berniat melakukan pengembangan proyek Pulau Rempang menjadi REC yang diminati oleh produsen kaca asal China yakni Xinyi Glass Holdings Ltd. Komitmen investasi siap dikucurkan oleh Xinyi Glass Holding dalam proyek Rempang Eco-City tersebut, dan telah disepakati dalam perjanjian kerja sama antara Indonesia dan China yang telah ditandatangani pada 18 Juli 2023. Industri ini diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sekitar 35.000 orang dengan nilai investasi sebesar 381 triliun Rupiah pada 2080. Kasus Rempang tersebut kemudian menjadi perhatian nasional, dan timbul pro dan kontra dari masyarakat terkait pengembangan proyek Pulau Rempang menjadi REC. 

Banyak tulisan dari berbagai pakar, akademisi atau bahkan masyarakat umum yang menyampaikan opini dan fakta mulai dari akar masalah hingga solusi-solusi yang coba ditawarkan. Dalam kesempatan ini, Penulis mencoba menganalisis Kasus Rempang dari sudut pandang berbeda yaitu aspek pertahanan dan keamanan nasional, khususnya kaitannya dengan kedaulatan NKRI sesuai dengan amanat Deklarasi Djuanda dan carut-marut konflik kedaulatan di Laut China Selatan.

Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Wawasan Nusantara

Konsep dan gagasan Indonesia sebagai suatu negara kesatuan secara eksplisit sebetulnya telah muncul sebelum pernyataan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 secara nyata telah mendeklarasikan bahwa Indonesia adalah suatu negara kesatuan melalui tiga keputusan kongres; yang mana merupakan suatu pengakuan sebagai satu bangsa dan satu tanah air, serta penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Konsep negara kesatuan ini kemudian dikukuhkan pula dalam UUD 1945 Pasal 1: Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.

Konsep Indonesia sebagai negara kesatuan tidak terlepas dari fakta bahwa secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan dimana segala variasi sosial dan budaya di dalamnya harus dianggap sebagai suatu kesatuan. Konsep ini pula yang kemudian tampaknya melahirkan konsep Wawasan Nusantara, yaitu cara pandang bangsa Indonesia terhadap rakyat, bangsa, dan wilayah NKRI yang meliputi darat, laut, dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan. Wawasan Nusantara adalah sudut pandang geopolitik Indonesia secara mendasar. Secara harfiah, wawasan nusantara berarti konsep kepulauan; secara kontekstual istilah ini mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘visi kepulauan Indonesia’. Wawasan Nusantara sendiri memiliki fungsi sebagai konsepsi ketahanan nasional, konsepsi pembangunan, konsepsi pertahanan dan keamanan serta konsepsi kewilayahan.

Deklarasi Djuanda dan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)

Konsep Wawasan Nusantara berupaya untuk menjawab tantangan geografis yang melekat pada diri Indonesia — sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau serta ribuan latar belakang sosial budaya penduduknya. Dalam hal ini, maka perairan yang terdapat di antara pulau-pulau itu harus dianggap sebagai elemen penghubung dan bukanlah sebagai faktor pemisah. Tidak dapat dipungkiri bahwa wilayah Indonesia saat ini merupakan ‘warisan’ dari wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Oleh karena itu, pada periode awal kemerdekaan, wilayah batas teritorial laut Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut; dan Indonesia dapat dikatakan belum memiliki kedaulatan atas wilayah laut yang memisahkan pulau-pulaunya. Dengan kata lain, batas teritorial laut tersebut belum mendukung konsep Indonesia sebagai negara kesatuan yang memiliki visi Wawasan Nusantara.

Pada medio 1950-an, para pemimpin Indonesia mempertimbangkan perlu adanya aturan mengenai sistem laut di Indonesia, karena ketentuan Ordonansi 1939 juga dapat dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pada 13 Desember 1957 dilakukan suatu deklarasi oleh PM Indonesia, Djuanda Kartawidjaja, sehingga deklarasi tersebut lebih dikenal dengan nama ‘Deklarasi Djuanda’; yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia (termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia) menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2.5 kali lipat dari 2,027,087 km² menjadi 5,193,250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional. Kemudian, pada 17 Februari 1969 pemerintah Indonesia menerbitkan pengumuman tentang ‘Landas Kontinen Indonesia’.

Pada awalnya, Deklarasi Djuanda menuai protes dari negara lain; namun selama bertahun-tahun delegasi Indonesia secara konsisten menyuarakan konsep tersebut pada forum-forum resmi PBB hingga kemudian terlaksana kongres United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) III pada 30 April 1982 yang penanda-tanganan dilakukan pada 10 Desember 1982 di Jamaica. Konvensi hukum laut internasional tersebut memuat pengakuan atas apa yang sudah dideklarasikan di dalam Deklarasi Djuanda. Indonesia sendiri kemudian meratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Mengacu kepada UNCLOS 1982, sangat jelas dinyatakan bahwa negara kepulauan memiliki kedaulatan atas seluruh wilayah perairannya termasuk ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta sumber kekayaan yang terkandung di bawahnya.

Sengketa Laut China Selatan (LCS)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline