Lihat ke Halaman Asli

Peternakan Demagog ala Pollster Ancam Ekosistem Politik Indonesia

Diperbarui: 2 Agustus 2018   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pollster, sumber : www.networkinaging.org

"Kalau kandidat menang, kemenangan itu milik kita. Kalau kandidat kalah, kita cari kambing hitam," Mang Udin berseru dari pojok ruangan. Dia asyik mengkalkulasi nilai proposal yang akan diajukan kepada seorang kandidat yang sebentar lagi bertarung dalam kontestasi politik.

Jumlahnya besar, bahkan lebih besar dari value pekerjaan yang akan dilakoninya jika proposal itu disetujui. Wajah innocent Mang Udin ditambah diksi-diksi intelektual-rasionalnya sanggup menjadikan siapapun tidak mampu menolak tawaran.

Jalannya diyakini kian mulus, karena ambisi berkuasa dari seorang kandidat tengah menyala bak obor Asian Games 2018. Play to win (bermain untuk menang) sudah mengalahkan asas play to educate (bermain untuk mendidik).

Era direct democracy (demokrasi langsung) meniscayakan kearifan sebuah ekosistem politik dalam menentukan pilihan. Pencerahan untuk sebuah bangsa dapat menemukan titik awalnya saat pilihan itu jatuh kepada seorang negarawan.

Sebaliknya, masa kegelapan siap menemukan ruang dalam kehidupan sebuah bangsa, saat demagog memegang tampuk kekuasaan. Kita tidak akan bisa berharap pemenuhan kepentingan bangsa pada seorang demagog. Karena niat, ucapan dan tindakannya hanya berorientasi pada kepentingan diri sendiri.

Racun jaminan kemenangan dalam kontestasi politik secara rutin disuntikan pollster kepada bayi-bayi demagog. Setelahnya, mereka dimasukan ke dalam inkubator leadership agar belajar berperilaku sesuai dengan kriteria leadership dalam hasil survei. Anehnya, kriteria leadership itu selalu mengalami perubahan, sesuai dengan periodisasi survei.

Dari proposal ajuan Mang Udin itu, pollster membangun artificial-leader dengan segala kriteria yang serba artifisial juga. Sebuah khazanah politik ambigu karena ekosistem politik dipaksa untuk hidup dalam tafsir kelenturan wacana yang disuguhkan. Tidak ke kanan, tidak pula ke kiri. Bahkan, kita tidak akan mampu menemukan eksistensinya di tengah-tengah.

Keliaran tafsir sengaja dibiarkan demi meraih insentif elektoral dari seluruh ceruk ekosistem politik yang ada. Maka tidak perlu heran, saat kita tidak menemukan oase ideologi di tengah kerontang padang pasir yang diciptakan duet pollster-demagog. Akibatnya, ekosistem politik terpapar polusi penyesatan wacana dan opini.

Penguatan Kultur dan Struktur Partai Politik

Seharusnya, lembaran proposal Mang Udin itu sudah lama menjadi sampah manakala ada penguatan partai politik secara kultur maupun struktur. Partai politik memiliki segalanya dan tidak patut disaingi pollster bahkan dalam menentukan kriteria pemimpin bangsa.

Sebagai agen rekrutment pemimpin, partai politik memiliki ideologi, kultur, struktur berikut  jejaring eksternal. Sehingga dalam melakukan ikhtiar pemenangan kandidat usungan partai, fardhu 'ain hukumnya mengabaikan bisikan pollster.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline