Lihat ke Halaman Asli

Farid Fadian

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Yogyakarta

Melihat Kepentingan dan Urgent RUU Omnibus Kesehatan

Diperbarui: 12 Mei 2023   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rancangan Undang-Undang (RUU), Kesehatan pertama kali diajukan pada tahun 2009 oleh negara sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan kesehatan dan mengatasi berbagai permasalahan kesehatan di Indonesia. Pada tahun 2018, RUU kesehatan kembali diajukan oleh pemerintahan Indonesia dengan beberapa perubahan dan penyesuaikan untuk mengamondasikan masukan dan kekhawatiran dari berbagai pihak. Saat ini RUU Kesehatan masuk dalam proses pembahasan dan pengesahan di DPR. Rencana RUU Kesehatan memicu menolakan dari berbagai ikatan Profesi kesehatan mulai dari IDI, PDGI, IBI, PPNI, IAI.

Penolakan RUU Kesehatan bukan tanpa alasan beberapa ikatan profesi menilai RUU ini sangat berbahaya dan mengancam kesehatan rakyat dan tidak ada jaminan hukum bagi tenaga kesehatan selain itu adanya rencana RUU ini mempermudah liberliasasi dan kapitalisme kesehatan yang masuk melalui RUU kesehatan yang sedang dibahas oleh DPR. Dipercepat membahasan RUU Omnisbus kesehatan ini muncul dari hasil pertemuan G20 mengenai penguatan arsitektur kesehatan ini juga salah satu alasan dari segi liberlisasi dan kapitalisme kesehatan yang menjadi rujukan kenapa para ikatan profesi nakes menolak RUU. upaya untuk memasukkan liberalisasi dan kapitalisasi kesehatan kita bicara kesehatan hari ini, kalau semua dibebaskan tanpa kontrol sama sekali, tanpa memperhatikan mutu pelayanan kesehatan, maka ancamannya adalah seluruh rakyat. Adapun yang dimaksud dengan liberalisasi adalah penghapusan peran organisasi profesi dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi terutama dalam Surat Tanda Registrasi (STR) bagi dokter dan nakes. Diketahui bahwa seluruh nakes harus diregistrasi di konsilnya masing-masing dan dievaluasi dalam 5 tahun. Tetapi dalam RUU Kesehatan bahwa STR berlaku seumur hidup sehingga dokter atau nakes bisa praktik tanpa pengawasan. nakes dan dokter itu praktiknya tidak diawasi dan dievaluasi dalam lima tahun. Itu bagaimana mutunya, ancaman bagi seluruh keselamatan rakyat kalau nggak diawasi.

  IDI menyoroti isi RUU Kesehatan yang memberi kemudahan izin bahkan mendorong pihak swasta (asing) untuk mendirikan fasilitas pelayanan kesehatan dengan tujuan memperoleh laba sebanyak banyaknya di dunia kesehatan. Kesehatan terjamin dengan pembiayaan yang murah atau bahkan gratis itu memang dambaan bagi setiap orang. Namun di sisi lain, kita juga paham bahwa di dalam pelayanan kesehatan juga memerlukan dana yang sangat besar. Di sinilah peran pemerintah seharusnya mendominasi, bukan pihak swasta yang memonopoli pelayanan kesehatan sebagai ajang kompetitif demi mencari keuntungan ekonomi. IDI juga menilai terjadi liberalisasi dalam RUU Kesehatan yakni bebasnya asing dalam berinvestasi dalam bidang kesehatan. RUU juga menghapus peran organisasi profesi (IDI) dalam pengawasan, pembinaan, penerbitan rekomendasi terutama dalam Surat Tanda Registrasi (STR) bagi dokter dan nakes. Dalam draf RUU Kesehatan pemerintah menghapuskan rekomendasi izin praktik dalam syarat syarat pengurusan izin, menghilangkan kewajiban bisa berbahasa Indonesia serta memberikan izin langsung selama 3 tahun, sebelumnya hanya 1 tahun. Ini bukti praktik kapitalisme dan liberalisasi di kesehatan.

Jaminan hukum bagi nakes juga salah satu yang menjadi sorotan dalam RUU Omnibus kesehatan ini, namun dalam hal jaminan hukum terhadap nakes pihak kemenkes angkat suara uru Kesehatan Kemenkes, dr. Mohammad Syahril, mengatakan bahwa RUU Kesehatan memberikan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan. RUU Kesehatan mencakup beberapa pasal baru yang memberikan perlindungan hukum, seperti perlindungan hukum bagi peserta didik, hak menghentikan pelayanan jika mendapat tindak kekerasan, dan perlindungan hukum pada kondisi tertentu, seperti wabah. Namun menurut Ketua PPNI, Dr. Harif Fadillah, mengatakan bahwa RUU Kesehatan berpotensi memperlemah perlindungan dan kepastian hukum tenaga kesehatan dan mendegradasi profesi kesehatan dalam sistem kesehatan sosial. Menurut kelima organisasi profesi kesehatan, RUU Kesehatan tidak memberikan jaminan hukum terkait kepastian kerja dan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan, serta tidak memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para tenaga kesehatan. Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. dr Moh. Adib Khumaidi mengatakan bahwa alih-alih melakukan pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law, pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan pembenahan masalah kesehatan yang masih terjadi di masyarakat. Dia mengatakan, masyarakat yang tinggal di daerah pedalaman masih kesulitan untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan yang baik. Selain itu, tenaga medis juga masih kesulitan untuk menjangkau wilayah-wilayah pedalaman di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline