Lihat ke Halaman Asli

Indonesia 72 Tahun: Melindungi Dasar Negara Tanpa Mengancam Kebebasan Berekspresi

Diperbarui: 2 September 2017   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tujuhpuluh dua tahun menjadi bangsa merdeka, sejauhmana kita sudah menjadi bangsa besar, yaitu bangsa yang berpikir tentang hal-hal besar?

Sepertinya belum sering. Kita lebih banyak menghabiskan masa kemerdekaan ini untuk melakukan tindakan dan memikirkan hal-hal kecil. Salah satu contohnya, doa seorang politisi saat sidang tahunan MPR dan keributan setelahnya. Hal kecil karena sama sekali tidak punya arti bagi "kebesaran" bangsa ini, dari segi apapun.

Indonesia, tujuhpuluh dua tahun. Seharusnya, mulai menjadi bangsa yang berpikir tentang hal-hal besar. Salah satunya, versi saya, bagaimana melindungi dasar negara tanpa mengancam kebebasan berpikir?

Bukan saja karena perkembangan internet membuat kebebasan berkespresi semakin bisa diekspresikan; kebebasan berekspresi, selain juga merupakan hak asasi, adalah "trend" dari perkembangan politik kontemporer. Ketergantungan individu dan entitas non-negara pada institusi negara yang semakin berkurang bisa jadi salah satu sebabnya. Banyak individu dan entitas non-negara yang, kenyatannya, lebih kuat secara politik-ekonomi dari negara. Kebebasan berkespresi oleh individu dan entitas non-negara seperti menjadi konsekuensi tidak terelakkan.

Kebebasan ekspresi itu, seperti kita lihat, juga muncul dalam bentuk ideologi yang berseberangan dengan ideologi negara. Lagi, bagaimana kita bisa melindungi dasar negara tanpa mengancam kebebasan berekspresi? Jika kita mampu menjalankan hal ini, saya yakin, kita adalah bangsa besar.

Kita bisa mulai membangun pemahaman, Pancasila yang kita punya adalah dasar negara resmi (official ideology) --seperti halnya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu sebagai 6 agama resmi. Di luar ideologi resmi Pancasila, terdapat banyak sekali ideologi tidak resmi (unofficial ideologies) yang "dipercaya" bisa jadi ideologi alternatif. 

Komunisme dan Khilafah Islamiyyah adalah dua ideologi tidak resmi yang paling sering kita dengar "ekspresinya." Sebagai ideologi tidak resmi, dan ada di pinggiran, ekspresi atas ideologi-ideologi itu boleh "hidup" di bangsa yang besar. Mereka yang memercayainya, boleh memperjuangkannya dengan berbagai cara kecuali dengan cara kekerasan, pemaksaan, ancaman, teror, dan sejenisnya.

Negara yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi resmi harus berusaha keras menjaga agar Pancasila tetap "menarik" dan diikuti mayoritas anak bangsa ini. Negara perlu memikirkan model pendidikan Pancasila yang "menarik" --bukan dogmatis bahkan diselipi ancaman seperti pada masa Orde Baru. Pendidikan Pancasila perlu mengenalkan keunggulan "logis dan filosofis" dasar negara ini dibanding ideologi lain seperti komunisme dan Khilafah Islamiyyah, misalnya. Bangsa besar yang telah memilih Pancasila sebagai ideologi resmi tidak seharusnya menggunakan penghukuman pada yang lian dan beda untuk menjaga dasar negara ini.

Kita juga perlu memahami bhinneka dalam Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar kebhinnekaan dalam arti suku bangsa yang selama ini sering menjadi retorika negara (state's rhetoric) dan narasi negara (state's narrative). Kita perlu memahami bhinneka dalam Bhinneka Tunggal Ika juga berarti kebhinnekaan dalam arti pemikiran dan ekspresi. Indonesia tujuhpuluh dua tahun masih melihat kebihinnekaan dalam Bhinneka Tunggal Ika sebagai keragaman suku, seperti kita lihat dalam "tema" perayaan kemerdekaan lalu. 

Kita berharap, jika tidak pada saat Indonesia tujuhpuluh tiga tahun, pada Indonesia tujuhpuluh lima atau Indonesia seratus tahun, kita akan melihat perayaan kemerdekaan di mana beragama aliran pemikiran yang diperjuangkan tanpa kekerasan, ancaman, teror, dan sejenisnya itu menjadi "tema." Saya ingin melihat, perayaan hari kemerdekaan dihadiri oleh mereka yang percaya komunisme, Khilafah Islamiyyah, five-day-school, madrasah diniyyah, syiah, kanjeng dimas, LGBT, bumi bulat dan bumi lonjong, wahabi, Ahmadiyyah, feminis, Islam liberal dan setengah liberal, dan lain-lain.

Sekali lagi, jika kita ingin menjadi bangsa besar, bangsa yang berpikir tentang hal-hal besar, kita perlu belajar melindungi ideologi negara tanpa mengancam kebebasan berekspresi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline