Lihat ke Halaman Asli

Andi FaridBaharuddin

Penulis, Penari Profesional, dan Aktifis

Nasihat Ibu pada Guru Honorer

Diperbarui: 8 November 2019   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di pagi hari yang cerah, terdengar siualan burung kakak tua yang sedang bertengger dihalaman rumah Udin. Siulan itu seraya menjadi alarm yang selalu menubruk kenangan udin saat terlelap dalam mimpinya. Konon, menurut cerita almarhum aba Udin, memelihara burung kakak tua mampu menghibur para bujangan yang hilang mata pencarian. Terlebih lagi bila si kakak tua dididik berceloteh dengan para tamu yang bernasib  nahas, tentu terhiburlah tamu itu. Karena ocehan kerasnya itulah, aba udin memungutnya sebagai piaraan. "udin-udin bangun udin" teriak alunan cempreng si burung kakak tua dari tenggerannya.

Mendengar teriakan itu, si Udin-pun sontak terbangun. Dengan pandangan kabur, ia pun merogoh kacamatanya yang tergeletak di atas bouvet. "Jam berapa si ini? Mana masih pagi banget lagi. Tu burung udah celoteh aja kayak pacarku saat datang bulan". Udin tahu, jika rewelan si Kakak tua tak akan berhenti bergema hingga sepotong bisquit masuk ke tenggorokannya. Ia pun lekas melangkah keluar tuk memberi sepotong biscuit sebagai penyumbat corongnya yang cempreng. Dipotonglah biscuit itu higga menjadi kepengingan agar mudah masuk ke mulut si kakak tua. Semenit kemudian, usia melahap buskuit itu, suara burung kakak tuapun hilang tak bergemah.

Iya, Udin namanya. Sebuah sapaan, yang tak begitu akrab di telinga wanita Mega-politan layaknya Justin, Robi, Daniel, dan  atau sejumlah sapaan beken kala ini. Karena sapaan udin inilah yang membuatnya kerap malu untuk berkenalan dengan sejumlah wanita kagumannya. Setiap berjabat tangan, si udin selalu mengaktifkan kelihaiannya dalam penyamaran nama, "hay saya Farel" kadang juga "hay saya Tomi" sambil mengangkat belahan rambut depan berharap angin sepoy menyibak wajahnya yang diterangi kilauan cahaya menawan. Setidaknya, begitulah ia mengenang sambil menantang matah si burung kakak tua yang sedang lahap memakan kepingan bisquit.

Dahulu, panggilan udin ini berangkat dari terminology keagamaan di jazirah arab dengan sebutan "Din" yang berarti agama.  Sebagai putra sulung yang lahir dari rahim perempuan sholeha, ibunya sedari dulu memupuk sejumlah harapan agar nantinya udin dapat menjadi da'i kondang di kampungnya. Ibunya bekerja sebagai guru ngaji di salah satu surau kampung bugis, di kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan. Sang ibu telah menjatuhkan niat sucinya agar selepas udin menyelesaikan sekolah dasar, udin akan menjadi santri di pondok pesantren Gontor di Ponorogo. Sayang, impian itu berujung isapan jempol tatkala sang ibu membaca iuran yang harus disiapkan untuk memondokkan udin.

kring..kring..kring.. bunyi telephone berdering..

Dengan langkah sedikit buru-buru, si  udin segera merangkat telpon dering itu, "iya halo dengan siapa, dimana?"

"Ini aku din, pak Suparjo guru bahasa inggris kelas XI-a"

"oh" mendengar suara pak parjo yang khas, udinpun segera membetulkan intonasi suaranya dan menjadi sedikit sopak, "Pak Suparjo, iya ada apa pak?"

"wadduh aku gak tahu harus ngomong apa nih. Aku ada acara pagi ini, you maukan gantiin aku ngajar jam 9?. Kamu inikan juga guru bahasa inggris. Yang biasa gantiin ngajar bu Selvi. Boleh ya?"

"wah gimana ya pak, masalahnya aku ada kelas pada jam yang sama. Ntar ngajarnya tidak focus kalau harus ngajar dua kelas secara barengan" Ucap udin dengan nada memohon.

"Kok gitu sih. masa kalau sama bu selvi mau sama saya gak. Koe ini kan masih berstatus guru honorer. Aku ini sudah berstatus ASN. Tahu koe!  Sebagai guru honorer, kalau karir you mau meroket, you harus siap gantiin guru-guru ASN ngajar. Paham kau!" Teriaknya dengan nada tak bersahabat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline