Dikutip dari buku kode etik psikologi psikolog merupakan lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan, dll.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang psikolog diwajibkan untuk menolong individu atau kelompok yang membutuhkan bantuannya tanpa pandang bulu. Hal ini tercantum dalam poin ke 2 pasal 13 bab VI mengenai Hubungan Antara Manusia, yang menyebutkan jika seorang psikolog atau ilmuan psikologi diharuskan untuk memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkan. Sehingga seorang psikolog diharapkan mampu untuk membangun hubungan yang baik dengan orang lain. Meskipun begitu, hubungan antara klien dan psikolog merupakan contoh hubungan yang tidak seimbang. Karena klien diharuskan untuk terbuka terhadap psikolog mengenai masalahnya, sedangkan psikolog tidak harus terbuka terhadap sang klien. Hal ini bertujuan bukan untuk menyembunyikan kepribadian psikolog, tetapi agar klien tetap dapat melihat psikolognya sebagai pendengar yang aman dan netral guna membantu memecahkan permasalahannya.
Batasan-batasan tersebut juga membuat seorang psikolog dilarang untuk memberikan konseling atau layanan psikologis terhadap orang-orang terdekatnya. Secara kode etik, seorang psikolog dilarang untuk memberikan layanan psikologis kepada keluarga, teman, atau orang-orang yang memiliki hubungan emosional dengannya. Pelarangan hubungan ganda atau majemuk seorang psikolog diatur dalam pasal 16 bab VI mengenai Hubungan Antara Manusia, dijelaskan jika seorang psikolog disarankan untuk menghindari adanya peran ganda atau hubungan majemuk terutama apabila hal tersebut dapat menimbulkan masalah atau hal yang merugikan. Hal ini dikhawatirkan dapat merusak objektivitas atau menimbulkan bias. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bias merupakan kecenderungan seseorang untuk mendukung atau menentang suatu hal, orang, ataupun kelompok dengan cara yang kurang adil, sehingga membuatnya tidak netral dalam memandang hal tersebut. Selain itu hal ini juga dapat menurunkan kompetensi atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya sebagai psikolog serta beresiko adanya eksploitasi atau kerugian pada orang atau pihak lain dalam hubungan profesional tersebut.
Hal ini dapat terjadi karena adanya ikatan emosi yang kuat antara psikolog dengan significant other yang mungkin menjadi kliennya. Emosi yang kuat beresiko membuat psikolog kesulitan untuk menilai dan mendiagnosis kondisi klien secara objektif, sehingga berpotensi membuat layanan yang diberikan kurang efektif. Padahal objektifitas dalam menilai, menganalisis, dan mendiagnosis merupakan bagian dari profesionalitas seorang psikolog. Oleh karena itu, pemberian layanan psikologi dari psikolog kepada orang terdekat seharusnya dihindari, karena melanggar kode etik psikologi. Tetapi bukan berarti seorang psikolog tidak boleh menerima atau berbagi cerita dengan orang terdekatnya. Hal itu tetap diperbolehkan terjadi hanya saja tidak dalam konteks layanan psikologi.
Selain dilarang untuk memberikan layanan psikologi kepada orang-orang terdekat, untuk menghindari adanya peran ganda seorang psikolog juga dilarang untuk menjalin hubungan diluar hubungan profesional antara klien dan psikolog. Meskipun begitu, faktanya banyak klien yang mampu membangkitkan reaksi emosional para psikolog. Tidak jarang, para psikolog merasakan perasaan cinta, nafsu, rasa ingin tahu, iri hingga perasaan tidak suka. Tidak hanya psikolog, klien juga seringkali merasakan reaksi emosional serupa terhadap terapisnya. Hal ini dapat terjadi karena perlakuan baik yang seringkali diterima oleh para klien dari terapisnya. Padahal perlakuan ini bertujuan untuk membangun hubungan baik guna membantu menyelesaikan permasalahan klien secara profesional. Meskipun merupakan hal yang biasa terjadi tetapi hal ini tetap dilarang dalam kode etik untuk melindungi klien dan juga psikolog dari kemungkinan-kemungkinan yang bisa merugikan salah satu atau kedua pihak.
Referensi
Indonesia, H. P. (2010). Kode etik psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia.
Rahmatullah, B. (2023). Analisis Pelanggaran Kode Etik Psikologi (Studi Kasus Putusan Nomor 463/Pdt. G/2013/Pn. Jkt. Sel). JUSTICES: Journal of Law, 2(2), 72-83.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H