Lihat ke Halaman Asli

Faridatur Riskiyah

Alumni Universitas Brawijaya

Perempuan dalam Dunia Patriarki

Diperbarui: 29 Desember 2022   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Source: akun instagram @ma_fris

Di dunia ini perempuan sering kali dianggap sebagai jenis kelamin nomor dua yang tidak lebih hebat daripada laki-laki. Pandangan tersebut tidak jarang berdampak pada perkembangan intelektualitas perempuan yang selalu ditekan sedemikian rupa oleh lingkungan sekitarnya. Perempuan dinilai tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi, perempuan tidak perlu memiki posisi atau jabatan yang strategis, perempuan tidak boleh lebih hebat daripada laki-laki, dan lain sebagainya yang cukup membuat diri ini merasakan emosi. Dalam dunia yang demikian, kita menyebutnya sebagai patriarki, yaitu sebuah budaya yang menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada laki-laki.

Aku adalah seorang perempuan yang ingin mendobrak dunia patriarki ini. Dunia ini membuatku muak karena banyak sekali potensi cemerlang para perempuan yang terkurung seperti berada dalam jeruji besi. Bumi ini begitu luas, namun sayang sekali dipenuhi oleh orang-orang yang memandang perempuan sebelah mata. Kami adalah perempuan yang juga berhak atas diri sendiri, berhak atas pendidikan yang layak, dan lebih utama lagi berhak untuk mendapatkan kesempatan pendidikan yang setara dengan laki-laki.

Pendidikan saat ini mungkin memang sudah memberikan akses kepada perempuan untuk selangkah lebih maju daripada yang tertinggal, namun tidak dapat dipungkiri masih banyak sekali suara-suara sumbang yang mengatakan perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi.

“Kesibukanmu sekarang apa Pris?” seorang lelaki dengan badan tinggi dan kekar bertanya padaku, dia adalah tetangga sebelah rumah yang saat ini bekerja di salah satu bank swasta di kotaku.

“Lagi urus berkas untuk pendaftaran S2 nih.” Jawabku sambil menatap ponsel, kebetulan semua berkas harus dikumpulkan dalam bentuk softfile.

“Lah lanjut lagi? Tidak perlu tinggi-tinggi Pris, untukmu S1 saja cukup, sudah waktunya untuk menikah. Nanti tidak ada yang mau menikahimu kalau terlalu tinggi.” Lelaki disebelahku ini berkata santai dengan tatapan penasaran pada layar ponselku. Aku merasa risih baik dengan perkataannya maupun perbuatannya. Hal itu membuatku menjauh, berusaha menjaga jarak dari si lelaki yang bahkan tidak ingin aku sebut namanya. Terlalu tidak penting.

Lelaki ini merupakan satu dari sekian contoh lelaki patriarkis yang ada di sekitar kita; para perempuan. Lelaki yang secara vokal melontarkan kata-katanya, kata-kata yang menganggap seorang perempuan hanya memiliki posisi tawar dalam masyarakat hanya jika ia menikah. Kata-kata semacam itu dan bertemu dengan lelaki macam dia adalah makananku sehari-hari. Mungkin, juga makanan bagi setiap kaum perempuan yang ingin memiliki pendidikan setinggi-tingginya.

Menurutku, pandangan yang menilai pendidikan tinggi bagi perempuan sebagai sesuatu yang tidak lebih penting dari sebuah pernikahan adalah produk dari budaya patriarki yang masih eksis hingga sekarang. Budaya ini yang membuat para perempuan tidak bisa bebas untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan potensinya, dan menjadi pribadi yang dapat berdiri sendiri sebagai individu yang terampil.

Dalam kepalaku selalu tertanam bahwa bukan perempuan yang tidak boleh sekolah tinggi-tinggi melainkan ego lelakilah yang tidak boleh tinggi-tinggi. Aku pernah bertanya pada seorang lelaki. “Kenapa kamu berpikir perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi?”

“Ya kan tidak boleh perempuannya lebih tinggi daripada laki-laki. Dimana-mana tuh perempuan harus dibawahnya laki-laki agar mudah kita mendidiknya. Kalau perempuan punya posisi lebih tinggi, biasanya dia suka membangkang.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline