Lihat ke Halaman Asli

Suara Perempuan

Diperbarui: 21 April 2020   03:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suara Perempuan

Menjadi seorang perempuan adalah takdir dari yang Maha Kuasa, ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, sebagaimana Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan.

Perempuan yang diciptakan dari tulang rusuk kiri sebelah hati, untuk itu ingin disayangi, dikasihi, pun dicintai. (Jika hanya bertamu jadilah selayaknya tamu, agar aku tau harus menyuguhkan kopi atau hati).

Sejauh perjalanan ini, menjadi perempuan adalah kebanggaan tersendiri secara pribadi, terlepas dari semua tuntutan dan fitrahnya. Perasaan kerap kali menjadi intimidasi sebagai kelemahan seorang perempuan, namun bagiku “perasaan” adalah sumber kekuatan.

Sebuah teka-teki yang tak bisa ditelusuri, bahkan oleh diriku sendiri. Seperti puzzle yang akan menjadi sempurna gambarnya dengan berjalannya waktu sampai waktu itu sendiri yang berhenti. Seringkali dilabeli sebagai makhluk paling “rumit” dengan berbagai dramanya. Namun, hal ini tak membuatku berhenti mempelajari.

Perempuan pertama yang mengambil peran, namanya yang kian melambung di nusantara, hingga pemikiran-pemikirannya terhadap perempuan pribumi. Dialah R.A Kartini sosok yang sering digambarkan sebagai tokoh perempuan pergerakan, sekaligus pahlawan nasional.

Merubah stigma tentang perempuan, membawa perubahan yang begitu nyata, hingga berbagai kontroversi terhadap dirinya. Mengingatkan akan kebebasan “menuntut ilmu dan belajar di bangku sekolah” bagi perempuan ditengah kondisi adat istiadat, dimana perempuan setelah berumur 12 tahun, dipingit, dinikahkan, hingga rela dimadu.

Menuntut ilmu adalah hal yang terpenting bagi ibuku untuk anak-anaknya, segala cara di upayakan, sampai pada ikhtiar dan mendo’akan. Menjadi anak perempuan tertua, menjadikanku tak tahu harus bersikap seperti apa, ketika kendala ingin melanjutkan belajar di perguruan tinggi, ditentang oleh sang Ayah.

Seperti lagu lama, ”buat apa sekolah tinggi-tinggi, jika perempuan berakhir di dapur”. Sedang Allah berbaik hati kepadaku, membuka jalan atas tekadku. Kiranya bukti menjadi yang dinanti, bagaimana terbukanya pikiran Ayah. Benar, hingga kata-kata Ayah yang menjadi semangat disaat ingin menyerah.

Terus belajar, belajar menjadi diriku sendiri sebagai perempuan, bukan menjadi perempuan sebagaimana diriku ke depan. Perempuan yang dapat berdiri di kakinya sendiri, perempuan yang mandiri, perempuan dengan sejuta mimpi, perempuan yang Allah ridhoi.

Berjalan dengan kemauan sendiri adalah bentuk nikmat yang tak tertandingi, bagaimana Allah memberiku kesempatan untuk terus memperbaiki. Proses pencarian jati diri yang terkadang membuat kesalah dalam pilihan, bahkan sekedar membuat pilihan menjadi tantangan tersendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline