Lihat ke Halaman Asli

Guru Harus Lebih Pintar dari Google

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13854006881711326710

Sudah cukup lama meninggalkan bangku sekolah, kira-kira beberapa tahun yang lalu. Walau saat kuliah ada dosen, guru dan dosen itu berbeda, cari sendiri perbedaannya, karena saya memang akan lebih mengupas sesuai judul.

Disini lebih kepada kritik saran dan tentunya opini saya pribadi, jadi bila ada yang tersingung, silahkan membuat tulisan juga. Jadi diskusi saja agar pikiran semakin terbuka, atas nama kepedulian kepada dunia pendidikan di Indonesia.

Tadi pagi saya melihat acara Dahsyat di televisi, ya biarlah kalau guru jadi penonton diacara tersebut, sekali-kali bolehlah hitung saja hiburan untuk mereka, lumayan juga dapat hadiah, dan bisa masuk televisi. Tapi yang membuat saya kemudian tergelitik membuat tulisan ini adalah pada segmen Luna Maya kemudian menanyai seorang guru yang menjadi perwakilan guru yang datang. Guru itupun tentunya dimintai tanggapan akan beberapa persoalan yang sebenarnya menurut saya harusnya bisa dijawab lebih menunjukkan bahwa dia memang seorang ‘guru’.

Kira-kira begini

Luna : saat itu perkembangan tehnologi semakin canggih, bagaimana tanggapan tentang penggunaan internet untuk kaum muda?

Guru nya menjawab dengan intro yang panjang namun tidak penting, tidak sesuai konteks, saya yakin kalau itu tidak disiarkan ‘live’ pasti sudah di ‘cut’ saat editing. Ya saya tahu, itu memang juga merupakan seni berbicara sebenarnya, berbicara yang tidak penting dulu, sambil memikirkan jawaban.

Lagipula ada juga sebuah teori yang suka diucapkan teman saya dulu ‘orang yang berada di depan kamera itu biasanya otaknya turun setengah’ kalau belum terbiasa, alias kikuk katakanlah.

Dan jawabannya yang paling saya ingat guru tersebut mengatakan “anak anak biasanya mengakses di internet dan di handphone, dan handphone tetap diperbolehkan dibawa ke sekolah, karena penting untuk komunikasi, namun handphone yang hanya bisa telephone dan bisa sms saja”

Sepertinya jawabannya lebih kepada tindakan dari sekolah, bukan sebuah edukasi akan kemanfaatan dari tehnologi yang memang sebenarnya dapat membantu manusia agar bisa digunakan untuk sesuatu yang positif, menunjang pembelajaran dll, dan agar tak disalahgunakan misalnya, guru tersebut tidak menjawab seperti ini, jadi saya malah melihat kepada sebuah pencegahan, ataupun sebuah antipati dengan datangnya kemajuan tehnologi.

Yang kemudian terlintas dalam pikiran saya kemudian adalah sebuah ketakutan bahwa siswanya akan lebih pintar jika handphonenya lebih canggih. Ataupun siswa lebih asik dan lebih mendapat jawaban yang memuaskan ketika bertanya pada Google.

Lagipula saya sempat tertawa, karena bahkan guru itu menyebut di internet dan di handphone, masak tidak bisa membedakan antara leptop/komputer dengan internet. hahaha, itu tidak hanya disebut sekali dua kali namun beberapa kali, mungkin maksudnya adalah mengakses internet di leptop dan handphone.

Kebijakan handphone yang hanya bisa telephone dan bisa sms saja, mungkin bertujuan baik untuk menyeragamkan, ditakutkan ada kesenjangan, itu positive thinking saya. Tapi apa salahnya yang bisa beli lebih canggih, siapa tahu bisa membantu pembelajaran, siapa tahu dia juga mau berbagi pengetahuan dan tidak pelit kepada temannya.

Adegan yang menarik lainnya adalah ketika seorang guru, saya lupa guru yang sama atau beda mengatakan bahwa intinya pengisi acara di dahsyat dan siapapun sukses juga berkat guru, dan saat itu muka Olga terlihat agak sedikit binggung, saya tertawa kembali, tapi agak lebih kepada sinisme. Mungkin negative thingking, saya berpikir bahwa bisa saja Olga berpikir tak ada gunannya sekolah, toh dia mendapatkan pekerjaannya sekarang karena berlatih lenong dan karena kerja kerasnya, tak ada unsur sekolah-sekolahan.

Nah ‘pekerjaan rumah’ guru sekarang menurut saya adalah jangan sampai orang berpikir bahwa tidak ada gunanya sekolah, bahkan jika sayapun harus bersekolah saat ini, katakanlah saya saat ini masih kecil, mungkin saya sekolah ya karena hanya untuk sosialisasi, untuk menikmati masa kanak-kanak yang mungkin memang idealnya ‘sekolah, ketemu teman-teman sekolah, main-belajar’, mending saya ‘home scholling’ saja, sama-sama dapat ilmu, sama-sama dapat ijasah, lebih efisian waktu, lebih mendalam dan fokus karena langsung berhadapan dengan guru yang dipanggil kerumah.

Karena itu menurut saya guru tidak hanya sebatas yang memberi jawaban soal saja, orang tidak sekolahpun bisa menurut saya, karena saya pernah praktik ketika menjadi guru les, bila tidak tahu saya tinggal googling saja, selesai, semuanya ada, kecuali Matematika dan penghitungan lain, mudah, cepat, dan kapanpun, asal ada akses internet.

Guru harus bisa membuat ilmu pengetahuan itu menjadi sesuatu yang menarik untuk dipelajari. Membuat anak mulai menggali apa yang menjadi ketertarikannya, bukan memarahi ketika tidak bisa sebuah mata pelajaran, wah kalau bicara ini sebenarnya sudah menyangkut sebuah sistem pendidikan di Indonesia juga, yang memaksa anak untuk menguasai semua hal. Padahal setiap manusia diciptakan memiliki kegunaannya masing-masing. Jadi jangan salahkan lagi anak yang nilai matematikanya selalu buruk, ataupun sebaliknya anak yang selalu nilai sosiologinya buruk.

Kata mudahnya guru membuka ruang-ruang atau sekat-sekat pikiran, yang kemudian anak menjadi tahu “oh ternyata di dunia, di kehidupan bermasyarakat dan bernegara, di luar angkasa, di dalam bumi, oh ada yang seperti itu” lalu sang siswa menjadi bertanya, menjadi mempelajari, menjadi tahu jawaban, mendiskusikan, sekat ruang berpikir yang terbuka, wawasan yang luas, dunia-dunia yang ternyata banyak hal menarik, rumit, kompleks, yang kemudian membedakan sekolah dan tak sekolah. Yang bahkan sebelumnya tak pernah tercetus sekalipun dipikiran untuk dicari di google, karena memang si anak didik ‘samasekali’ baru tahu akan hal itu. Kemudian bahkan ketika hal tersebut dibahas di sekolah dan kemudian sang anak menjadi lebih tertarik lagi ketika sampai dirumah untuk lebih mempelajarinya lagi bahkan dengan ‘mencarinya di google’ yang memang seolah tahu segala. Kemudian siswa membawa pengetahuan tambahannya ke sekolah lagi, bahkan antar siswa saling membagi pengetahuannya, dan berkembang tumbuh, berkembang tumbuh, mekar dengan sesuatu yang maksimal, bukan sekedar PR, ujian, praktik, PR, ujian, praktik, itu sama pentingnya namun ada esensi lain yang sebenarnya kemudian membuat fungsi dan kebermanfaatan profesi guru menjadi lebih, dan tentunya lebih berat.

Belum lagi masalah nilai dan moral yang sebenarnya bukan hanya menjadi tanggungjawab guru. Dan tentulah hal tersebut pastilah tidak akan didapatkan di google dalam praktiknya. Jadi disini dalam istilah jawa. Guru adalah “digugu dan ditiru” atau dimana guru perkataan dan perbuatannya diamini dan kemudian diteladani. Guru harus mampu menjadi sosok yang diidolakan oleh setiap anak didiknya karena keluhuran budi, pengorbanan, pengabdian, kewibawaaan, kearifan buah dari pengetahuan akan ilmu yang didapatnya. Guru harus mampu menjadi seseorang yang dihargai dan dihormati oleh setiap anak didiknya, bukan justru ditakuti, dan tentunya keteladanan meskipun tentu guru bukanlah sosok yang sempurna, namun memang dia harus mampu menunjukkan sesuatu yang ‘mulia’ entah dengan kelembutan ataupun ketegasan sesuai style.

Berguru bukan bergoogle tentunya.

“Terimakasih kuucapkan, pada guru yang tulus, ilmu yang berguna selalu dilimpahkan untuk bekalku nanti, setiap hariku dibimbingnya agar tumbuhlah bakatku, kan ku ingat selalu nasehat guruku, terimakasihku ucapkan” lagu yang pernah saya nyanyikan didepan kelas, saat itu kelas lima, saya hampir menangis, bu guru saya, nama beliau Bu Subur juga sempat menangis. Semoga anak-anak Indonesia saat ini juga masih bisa menangis ketika meresapi lagu ini.

Dapatkanlah ilmu yang akan berguna, bekal yang sesuai bakatmu, jangan lupa berterimakasih pada Guru, jangan lupa berguna, sekalipun google kelak akan berganti nama yang lebih canggih lagi, kelak apa namanya, guru teruslah menjadi guru.

00:04

(Farida Isfandiari, 26 November 2013)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline