Lihat ke Halaman Asli

Farid Agil

Mahasiswa

Geopolitik dan Risiko Keamanan Regional ASEAN Pada Konflik Laut China Selatan

Diperbarui: 6 November 2024   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jauh sebelum negara-bangsa (nation state) muncul di Asia Tenggara, konflik di Laut China Selatan sudah ada. Tampak seperti kerajaan lokal sudah melihat potensi besar Laut China Selatan. Dengan demikian, dorongan politik dari entitas tersebut secara bertahap muncul untuk menguasasi wilayah Laut China Selatan yang saat itu sudah penuh dengan kapal dagang. Sumber daya alam yang melimpah membuat negara-negara Laut China Selatan bersaing untuk menguasai wilayah tersebut. Sebagian besar negara di Laut China Selatan memiliki wilayah klaim yang bervariasi. Kawasan Laut China Selatan, yang terdiri dari lebih dari 30.000 pulau dan terdiri dari gugusan karang, memiliki banyak potensi sumber daya alam yang luar biasa. Selain itu, karena posisi strategisnya, banyak negara ingin menggunakan Laut China Selatan sebagai sistem pertahanan. Dengan demikian, eskalasi konflik menimbulkan bahaya besar bagi Laut China Selatan. Secara khusus, ada sejumlah negara yang secara resmi mengklaim Laut China Selatan. Kawasan "nine-dash line", sumber utama konflik Laut China Selatan, adalah yang paling menyebabkan ketegangan di wilayah tersebut, termasuk Amerika Serikat (AS) kecuali Singapura. 

Geopolitik di Laut Cina Selatan adalah arena persaingan strategis yang melibatkan klaim tumpang tindih atas wilayah kaya sumber daya dan pentingnya jalur pelayaran internasional. Kawasan ini memiliki cadangan minyak, gas, dan perikanan yang signifikan, serta merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Klaim teritorial di Laut Cina Selatan berasal dari berbagai negara, termasuk China, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan, dengan klaim China yang paling luas ditandai oleh "Garis Sembilan Putus" (Nine-Dash Line). Keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag pada 2016 yang menolak klaim China tidak diakui oleh Beijing, menciptakan ketegangan yang berkelanjutan. Selain itu, pembangunan infrastruktur militer oleh China di kepulauan Spratly dan Paracel menambah kompleksitas geopolitik kawasan ini. 

Keamanan dan stabilitas di Laut Cina Selatan juga dipengaruhi oleh dinamika kekuatan eksternal dan upaya diplomatik multilateral. Amerika Serikat, dengan kepentingan strategisnya dalam menjaga kebebasan navigasi, sering melakukan operasi "Freedom of Navigation" (FONOP) untuk menantang klaim China. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan India meningkatkan kerja sama militer dan diplomatik dengan negara-negara ASEAN untuk menyeimbangkan pengaruh China. Di sisi diplomatik, ASEAN berusaha merumuskan Kode Etik (Code of Conduct) dengan China untuk mengatur perilaku di kawasan ini dan mengurangi ketegangan. Forum internasional seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit (EAS) sering membahas isu ini, menekankan pentingnya pendekatan multilateral dalam penyelesaian konflik. Strategi China dalam inisiatif Belt and Road juga memperlihatkan dinamika kekuasaan yang kompleks, dengan negara-negara di kawasan ini berusaha menyeimbangkan hubungan mereka dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat untuk menjaga kedaulatan dan keamanan mereka.

Setiap negara yang ikut dalam konflik Laut Cina Selatan punya kepentingan nasional yang sama yaitu memperoleh daerah dan memperoleh sumber daya produksi untuk meningkatkan juga menguntungkan ekonomi mereka sendiri.  Ada perbedaan nilai dan sistem keyakinan dalam menangani konflik Laut Cina Selatan, dan perkembangan saat ini di Laut Cina Selatan dan posisi masing-masing anggota ASEAN yang berkepentingan masih berbeda. Selain itu, komitmen anggota ASEAN untuk mencapai kesepakatan bersama dalam hal pertahanan dan keamanan belum tercapai hingga komunitas tersebut dibentuk pada tahun 2015. 

 Banyak tuntutan dibuat oleh negara-negara penuntut yang tergabung dalam ASEAN sebagai bagian dari konflik kepentingan yang rumit terhadap Laut Cina Selatan. Cara setiap negara melihat ancaman mempengaruhi bagaimana ASEAN menangani konflik di Laut Cina Selatan. Karena Cina berhasil mempengaruhi negara-negara yang menuntutnya secara bilateral dan menghindari penyelesaian multilateral, masalah ini menjadi semakin kompleks. Misalnya, solidaritas organisasi untuk menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan dipengaruhi oleh dukungan Kamboja terhadap klaim Cina di sana. Tidak ada kolektivisme dalam peta kebijakan luar negeri anggota ASEAN. Ini menunjukkan bahwa beberapa anggota ASEAN yang penting di Laut Cina Selatan, termasuk Malaysia, Filipina, Brunei Darussalam, dan Indonesia, memiliki pandangan kebijakan luar negeri yang berbeda. Karena tidak ada standar yang kuat yang dapat diterima secara hukum oleh semua pihak yang berkepentingan, termasuk yang tercantum dalam pernyataan perilaku, ASEAN menghadapi masalah yang signifikan. Kemungkinan krisis yang berkelanjutan meningkat dalam keadaan seperti ini. ASEAN belum mencapai kesepakatan yang konsisten tentang cara menghentikan ekspansi China di Laut Cina Selatan. Perjuangan AS dan Cina untuk menjadi kekuatan hegemonik di wilayah ini adalah masalah yang lebih luas dalam konteks kekuatan luar regional. Dalam konteks konflik Laut Cina Selatan, masalah solidaritas merupakan masalah yang terus-menerus bagi ASEAN. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas wilayah dan melindungi Cina dari pengaruh luar. 

Dalam konteks konflik di Laut Cina Selatan, ASEAN memiliki peran kunci dalam menjaga stabilitas regional dan memfasilitasi dialog antara negara-negara yang terlibat. Analisis geopolitik dan risiko keamanan regional ASEAN menyoroti tantangan dan peluang yang dihadapi oleh organisasi ini dalam menangani ketegangan di kawasan tersebut. Meskipun ASEAN berupaya untuk merumuskan Kode Etik (Code of Conduct) dengan China untuk mengatur perilaku di Laut Cina Selatan, upaya tersebut sering dihambat oleh ketidaksepakatan internal antara anggota, serta tantangan dalam menyeimbangkan hubungan dengan kekuatan besar seperti China dan Amerika Serikat. Namun demikian, ASEAN tetap merupakan forum penting bagi dialog diplomatik dan kerjasama regional, dan potensi bagi organisasi ini untuk memainkan peran mediator dalam menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan tetap terbuka. 

Secara keseluruhan, analisis ini menunjukkan bahwa risiko keamanan di Laut Cina Selatan tetap tinggi, terutama karena klaim teritorial yang bertentangan, kehadiran militer yang meningkat, dan potensi eskalasi konflik yang tidak terkendali. Meskipun demikian, ada juga ruang untuk diplomasi multilateral dan kerjasama regional yang lebih erat untuk mengatasi ketegangan dan mempromosikan perdamaian di kawasan tersebut. Diperlukan komitmen yang kuat dari negara-negara ASEAN dan mitra-mitra eksternal untuk memperkuat peran ASEAN sebagai mediator dan fasilitator dialog dalam menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan. Selain itu, penting untuk mengembangkan kerangka kerja keamanan yang inklusif dan berbasis aturan yang menghormati prinsip-prinsip hukum internasional, dengan tujuan akhir menciptakan lingkungan yang aman dan stabil bagi semua negara yang terlibat dalam kawasan tersebut.

Referensi:

Bangun, B. H. (2021). Upaya dan Peran ASEAN dalam Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH), 7(1), 23-37.

Bramastya, R., & Puspitarini, R. (2022). Geopolitik Ukraina terhadap Rusia dan Uni Eropa. Sospoli Institute Journal, 2(2).

Darajati, M. R., & Adolf, H. (2018). Putusan Sengketa Laut China Selatan Serta Implikasi Hukumnya Terhadap Negara Disekitar Kawasan Tersebut. Jurnal Hukum & Pembangunan, 48(1), 22-43.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline