Setelah sekian tahun lamanya, akhirnya Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau biasa disebut dengan RUUKUHP Disahkan. Selama ini induk peraturan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia merupakan warisan peninggalan kolonial Belanda sejak tahun 1918.
Per Desember 2022 Indonesia telah resmi memiliki KUHP yang disahkan menjadi landasan pengaturan hukum pidana. Dalam proses mewujudkan Rancangan KUHP sendiri memakan waktu yang sangat panjang dan berliku, pro kontra dalam negeri di pertengah tahun 2022 berhasil ditengahi oleh pemerintah dengan gencar memberikan sosialisasi dan juga memberikan kesempatan publik untuk berpartisipasi memberikan masukan terhadap Rancangan KUHP saat itu.
KUHP dan Keutuhan Keluarga
Pada Kamis, 8 Desember 2022 PBB melayangkan protes terhadap KUHP yang dinilai tidak sesuai dengan kebebasan fundamental dan hak asasi manusia, antara lain mengenai pasal larangan seks di luar nikah dan hidup bersama pasangan yang belum menikah. Beberapa pasal KUHP yang di soroti PBB, antara lain;
- Pasal 411 ayat (1) KUHP dinyatakan bahwa setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidanakan karena perizinan, dan ayat (2) terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat satu tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami/istri yang terikat perkawinan dan orangtua/anak.
- Pasal 412 ayat (1) setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana, dan ayat (2) terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat pertama tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami/istri yang terikat perkawinan dan orangtua/anak.
Dari kedua pasal tersebut jelas bahwa yang dapat melaporkan adalah suami/Istri, anak dan orangtua sebagai pihak atau keluarga inti yang langsung terdampak dari kasus "perselingkuhan'. Pasal ini sesuai dengan segala ajaran agama yang ada di Indonesia, bahwa zina dilarang dalam agama manapun.
Dalam Islam sendiri hal tersebut sangat terkutuk, dan "perzinaan" harus "dilegalkan" dengan pernikahan poligami, meskipun perkawinan poliandri diharamkan dalam Islam.
Dalam hal ini KUHP dan keyakinan agama setidaknya sejalan. Pasal KUHP memfasilitasi bagi anggota keluarga inti yang berkeberatan dengan anggota keluarga inti lainnya untuk memproses hukum secara pidana kasus "perzinahan" tersebut.
Dalam Islam bagi anggota keluarga inti lainnya jika tidak keberatan dapat mengizinkan anggota inti tersebut untuk menjalankan proses pernikahan poligami.
KUHP pasal perzinahan ini juga memberikan kesempatan bagi keluarga yang bermasalah dalam hal "perzinahan" untuk melakukan mediasi internal. Semisal salahsatu anggota keluarga kita tersangkut dalam 2 pasal KUHP tersebut, bisa saja tidak perlu langsung dilaporkan, namun bisa dibicarakan secara baik-baik di internal keluarga.
Pasal KUHP tersebut mengembalikan kembali fungsi keluarga kecil sebagai unit sosial terkecil untuk dapat menyelesaikan masalah di unit tersebut. Pasal KUHP "perzinahan" ini mencoba memahami bahwa aduan berasal dari keluarga inti yang terdampak.
Jadi KUHP mengajak kita untuk saling terbuka dengan suami/istri, anak atau orangtua dan berani bertanggung jawab dengan apa yang kita lakukan. Jika memiliki keberanian melakukan "perzinahan" maka harus berani bertanggung jawab, bicara secara jujur atau menerima konsekuensi untuk menjalankan proses hukum pidana.