Kemajuan teknologi saat ini membuat setiap orang semakin mudah dalam menyebar dan mengakes informasi pada media sosial. Setiap orang kini dapat menyebar informasi kapanpun dan dimanapun, untuk kemudian diterima oleh publik dalam waktu yang singkat. Namun, kemudahan yang dihasilkan dari kemajuan teknologi saat ini kerapkali disalahgunakan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk menyebar informasi yang tidak akurat.
Akibatnya, tak jarang kita temukan berita palsu atau hoax beredar luas di masyarakat. Berita palsu atau hoax ini kemudian diterima dan berkembang pada masyarakat hingga akhirnya diyakini sebagai suatu kebenaran.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat peredaran hoax tertinggi. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai negara yang paling mudah tertipu oleh hoax. Kemkominfo juga menyatakan bahwa sebanyak 65 persen masyarakat Indonesia masih mudah terhasut dengan adanya berita palsu.
Berita palsu atau hoax biasanya disebarkan melalui media sosial untuk menggiring opini publik terhadap isu tertentu. Isu politik menjadi isu yang paling banyak dijadikan bahan untuk penyebaran hoax di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari komunitas Masyarakat Anti Fitnah dan Hoax Indonesia (Mafindo), berita palsu politik yang beredar selama bulan Juli sampai dengan September 2018 adalah sejumlah 58,7 persen, kemudian disusul oleh isu agama dan penipuan sebanyak 7,39 persen, dan terakhir isu lalu lintas sebanyak 6,96 persen. Jenis berita yang dijadikan hoax pun beragam, mulai dari berita penganiayaan tim pemenangan salah satu calon presiden hingga berita palsu mengenai penculikan anak yang terjadi di Riau beberapa hari ini.
Oknum-oknum tidak bertanggung jawab dengan mudahnya merekayasa isu-isu tersebut dengan melalukan manipulasi data demi kepentingan golongan tertentu tanpa memperhatikan kerugian pihak lain. Sayangnya, kemunculan hoax tersebut justru dengan mudahnya diyakini masyarakat sebagai sesuatu yang benar keberadaanya.
Pada hakikatnya, seseorang cenderung mempercayai hoax apabila informasi yang diedarkan sesuai dengan pandangan atau sikap yang dimilikinya. Sebagai contoh, apabila seseorang telah memiliki pandangan negatif terhadap suatu kelompok atau organisasi tertentu, maka ketika beredar suatu informasi yang mengafirmasi pandangan atau sikapnya terhadap kelompok tersebut, ia dengan mudah terhasut dan menyebar luaskan berita tersebut.
Peredaran informasi yang mengafirmasi sikap atau pandangan seseorang kemudian menjadikan orang tersebut mengkalim dirinya sebagai pihak yang paling benar, sementara pihak lain yang bersebrangan menjadi mudah terprovokasi tanpa berusaha mencari kebenaran dan melakukan pengolahan data atas kemunculan berita tersebut. Keadaan inilah yang kemudian menjadi salah satu pemicu fenomena putusnya pertemanan, gesekan, dan bahkan permusuhan di dalam masyarakat.
Rendahnya budaya literasi masyarakat juga menjadi salah satu faktor mudahnya peredaran hoax terjadi di Indonesia. Kurangnya minat membaca menjadikan seseorang tidak terbiasa untuk tidak menelan mentah-mentah informasi yang didapatkannya tanpa melakukan verfikasi terlebih dahulu. Tidak adanya sikap kritis seperti mengolah data dan mencari sumber konkrit atas suatu informasi menjadikan peredaran hoax begitu masif di Indonesia. Apabila budaya ini terus dibiarkan, maka peredaran hoax di Indonesia akan terus mengalami peningkatan. Oleh sebab itu, dibutuhkan pemikiran cerdas dan kritis dalam mencerna peredaran hoax.
Keberadaan hoax memang tidak dapat dipungkiri akan terus ada di dalam masyarakat. Namun, kita dapat mencegah agar peredaran hoax tersebut tidak mengakar dan menjadi budaya di Indonesia. Presentase jumlah masyarakat yang percaya pada hoax di Indonesia harus mampu mencapai angka yang rendah. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu sikap dan pola pikir baru yang mampu menangkal peredaran hoax di Indonesia.
Masyarakat Indonesia harus menjadi sosok pemikir cerdas dalam menyikapi peredaran hoax. Sosok pemikir cerdas yang dimaksud disini ialah sosok pemikir yang mampu mengkritisi suatu informasi dengan selalu memverifikasi kebenaran berita yang diperoleh. Sosok pemikir cerdas selalu mengutamakan budaya literasi di dalam mengelola informasi dengan mencari alternatif sumber data untuk berita yang diperolehnya. Sikap objektif dan kehati-hatian juga menjadi sikap yang diutamakan dalam menyebar dan mengelola informasi yang beredar.
Adanya sikap objektif menjadikan seseorang berpikir luas dan terbuka dalam memandang suatu persoalan, sementara adanya sikap kehati-hatian menjadikan seseorang tidak mudah percaya dan terhasut oleh informasi yang beredar pada media, kedua sikap inilah yang juga menjadikan seseorang tidak mudah terprovokasi atas beredarnya suatu berita.