Lihat ke Halaman Asli

<i>Do Not Judge People By Their Names</i>

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Don't judge a book by its cover adalah ungkapan yang sudah sering kita dengar. Kali ini saya hanya ingin menggunakan pernyataan yang sama untuk menilai orang berdasarkan namanya. Ide ini terlintas ketika banyak yang mempertanyakan tentang keislaman Prof. Thomas Djamaluddin, yang beberapa hari terakhir ini menjadi sosok yang jadi bahan pembicaraan terkait dengan kontroversi penentuan 1 Syawal 1432 H.

Prof. T. Djamaluddin adalah ahli astronomi, anggota LAPAN, dan anggota Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI. Sejak jauh sebelumnya, Prof. Thomas Djamaluddin, dengan menggunakan alasan-alasan ilmiah mengatakan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Bahkan tulisan sang Professor dijadikan rujukan oleh KMII Jepang yang pada tanggal 15 Agustus 2011 sudah mengumumkan melalui websitenya, bahwa 1 Syawal 1432 H dan pelaksanaan sholat Ied 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011,walau akhirnya pada malam tanggal 29 Agustus 2011, KMII Jepang meralatnya dan menetapkan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011. Di Jepang akhirnya "Mendadak Lebaran".

Sya tidak menonton siaran sidang Itsbat Departemen Agama tanggal 29 Agustus malam, tapi dalam banyak tulisan yang sempat saya baca, ada kesan bahwa Prof. Thomas sangat "arogan" mempertahankan argumennya bahwa tanggal 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011, dan mengatakan bahwa metode hisab yang dilakukan oleh Muhamadiah, yang sudah menetapkan 1 Syawal jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011, sudah usang dan ketinggalan zaman. Ketika akhirnya keputusan sidang menetapkan bahwa 1 Syawal 1432 H bertepatan dengan tanggal 31 Agustus 2011, tetapi sebagian besar negara lain menetapkan 1 Syawal 1432 H adalah tanggal 30 Agustus 2011, banyak yang mempertanyakan keabsahan keputusan pemerintah, dan tentunya juga keabsahan teori dan metode yang digunakan oleh Prof. Thomas.

Bukan hanya mempertanyakan teori yang dikemukakannya saja, dalam bebebarap tulisan dan komentar, ada yang mempertanyakan keislaman Prof. Thomas Djamaluddin karena nama Thomas terdengar aneh untuk digunakan oleh seorang muslim. Jadi sangat lucu rasanya menilai keislaman seseorang hanya berdasarkan namanya saja. Apalagi kalau kita tidak mencoba mencari informasi lebih banyak tentang orang tersebut.

Sebelum terjadi polemik masalah 1 Syawal 2432 H, saya sudah membaca tulisan-tulisan Prof. Thomas Djamaluddin di http://tdjamaluddin.wordpress.com/. Saya juga membaca biografi beliau di blog tersebut dan saya tahu kalau beliau adalah muslim sejak lahir dan bahkan ketika kuliah di Jurusan Astronomi ITB, beliau aktif di Masjid Salman ITB sejak masuk kuliah sampai tamat. Jadi ketika ada yang mempertanyakan tentang keislaman beliau dalam beberapa komentar dan tulisan-tulisan di media sosial, saya senyum-senyum sendiri, jangan-jangan mereka yang mempertanyakan keislaman beliau itu justru yang perlu dipertanyakan keislamannya. Dari blog beliau, saya juga jadi tahu dari mana asal nama Thomas itu. Sebenarnya nama awalnya memang Djamaluddin, namun ketika kecil sering sakit, dan menurut kepercayaan suku tertentu, kalau anak sering sakit, sebaiknya namanya diganti. Akhirnya oleh orang tua, namanya diganti menjadi Thomas, dan nama Djamaluddin tetap dipakai di belakang nama Thomas.

Perbedaan metode dan teori sangat dimungkinkan dalam ranah akademis/ilmiah dan sebagai seorang akademisi dan peneliti, wajar saja kalau Prof. Thomas selalu mensosialisasikan teori dan metodenya, selama tidak mengklaim bahwa metodenya yang paling benar, hanya merupakan salah satu alternatif solusi dari sekian banyak alternatif solusi yang ada.

Kembali ke masalah nama, apakah kita bisa menilai tingkat keberagaman seseorang hanya dari namanya. Tentu saja tidak bisa, seperti halnya kita tidak bisa menilai sebuah buku hanya dari sampulnya atau judulnya saja.

Berapa banyak nama yang berbau Arab tapi ternyata non muslim, contohnya Samsul Nursalim dan Sudono Salim.Dan banyak juga nama yang terkesan non muslim, tapi ternyata beragama Islam, seperti Syafiie Antonio, Mario Teguh, Prof. Jhon Katili dan tentunya Prof. Thomas sendiri.

Siapa yang meragukan tingkat keislaman Syafiie Antonio, seorang ekonom yang sangat ahli dalam bidang ekonomi syariah.

Yang berbahaya adalah bila kita terjebak dalam stereotyping, bahwa yang bernama islami akan lebih berperilaku islami dibanding yang menggunakan nama non-islami. Dan hal seperti itu sudah umum terjadi. Teman saya pernah bercerita kepada saya tentang komentar negatif kepada seorang ibu yang memberi nama anaknya dengan nama CALVIN. Si ibu dikritik karena nama anaknya tidak mencerminkan seorang muslim. Jawaban saya ke teman itu,kalau seperti itu pemikiran si pengkritik, coba kasihkan saja contoh berapa banyak yang menggunakan nama islami, tapi kelakuan sangat tidak islami. Contoh yang paling aktual, nama MUHAMMAD NAZARUDDIN. Seperti kata Shakespeare, "Apalah arti sebuah nama?". Yang namanya bunga mawar akan tetap indah walau namanya diganti menjadi bunga bangkai, begitu juga sebaliknya. Kotoran akan tetap busuk walau kita namakan parfum, dan parfum akan tetap harusm walau kita namakan kotoran.

Memang nama juga bisa merupakan harapan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya agar kelak nanti sifat dan karakternya bisa sesuai nama yang diberikan. Tapi berapa banyak nama justru menjadi beban bagi si anak, karena nama yang berasosiasi dengan sifat-sifat yang sangat sempurna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline