Tidak terasa tahun 2017 sudah meninggalkan kita. Tidak ada salahnya melakukan refleksi diri terhadap perjalanan kehidupan yang sudah dilalui. Dan itu tidak perlu dicari dalil halal haramnya melakukan upaya refleksi akhir tahun. Bagiku, berada akhir tahun 2017 ini, ingatan menjadi mundur ke belakang, bahkan jauh ke tahun tahun sebelumnya lagi. Ya kurang lebih tujuh tahun sejak 2011 aku mendampingi para penderita TB menjalani hari-hari mereka.
Banyak kisah yang terurai selama kebersamaan dengan mereka. Penggalan kisah mereka diantaranya pernah aku tuliskan juga di Kompasiana ini. Paling tidak aku akan berhubungan dengan satu penderita TB selama 6 bulan sampai 20 bulan. Jadi cukup banyak waktu bagi mereka menyampaikan kehidupan mereka, yang terkadang diluar konteks menjalani pengobatannya. Tentunya aku pun tidak perlu untuk membatasi hubungan ini sebatas urusan pengobatannya. Bukankah individu manusia itu unik, dan harus dilayani secara holistik, bio, psiko, sosial dan spiritualnya.
Bersama mereka aku belajar untuk selalu melihat ke bawah dan belajar untuk meresapi bagaimana kehadiran kita dibutuhkan oleh mereka. Mendampingi mereka untuk kembali membuka harapan cerah untuk kehidupannya yang akan datang. Dan itu aku rasakan menjadi anugerah nikmat luar biasa. Saya belajar bagaimana bersyukur dan bersabar dan bagaimana menjadi manfaat bagi sesama.
Sejak tahun 2011-2017 sudah lebih 1000 penderita TB yang aku terlibat menangani mereka. Alhamdulilah sebagian besar berhasil menjalani pengobatan dan sembuh. Namun sedih juga melihat mereka yang belum berhasil, meskipun jumlahnya lebih kecil. Sebab mereka belum berhasil dalam pengobatan TB, diantaranya, mereka menghentikan pengobatan sepihak, terbentur urusan pekerjaan, kurang yakin dengan pengobatan yang sedang dijalani, dukungan keluarga yang kurang, dan berkaitan dengan tempat tinggal.
Begitu mereka ditetapkan dan didiagnosis sakit TB, mulailah mereka menjalani rutinitas yang baru. Bagi penderita TB biasa, mereka akan datang ke puskesmas untuk kontrol dan mengambil obat setiap satu minggu sekali hingga pengobatan dinyatakan selesai selama 6 bulan. Tetapi bagi penderita TB resisten obat, maka mereka akan datang setiap hari ke puskesmas untuk menjalani suntik dan minum obat selama 8 bulan, diteruskan hanya minum obat hingga kurang lebih 20 bulan. Selama menjalani pengobatan, kadang tidak selalu berjalan mulus, dalam artian seringkali muncul efek samping pengobatan, dari yang ringan, seperti keluhan nyeri sendi dan mual sampai keluhan berat seperti terjadi gangguan keseimbangan dan pendengaran sehingga perlu dirujuk ke layanan yang lebih tinggi. Itulah mengapa perlu tekad dan niat yang kuat dan dukungan dari orang terdekat bagi penderita untuk menjalani pengobatannya.
Bersamaan dengan perjalanan pengobatannya, kadang muncul permasalan diluar konteks pengobatan. Mereka sering mengeluhkan masalah ekonomi keluarga, masalah hubungan rumah tangga, masalah pekerjaan, masalah sekolah dan segudang permasalahan lainnya. Dan kami harus siap membantu mereka, meskipun kadang hanya sekedar mendengarkan curhatan mereka.
Meskipun diawal awal pengobatan sudah disampaikan, tentang penyakit TB dan pentingnya pengobatan serta permasalahan atau persoalan yang mungkin timbul selama pengobatan dan bagaimana jalan keluarnya, tetap saja berulang kejadian yang menyebabkan mereka tidak berhasil dalam pengobatan.
Stigma negatif penyakit TB turut memperberat beban sosial mereka. Entah apa yang menjadi alasan, penderita TB seakan menjadi lebih rendah dibanding penderita penyakit lain, semisal kencing manis, jantung, kanker. Mereka akan sangat malu bila ketahui oleh orang di sekitarnya jika mengidap penyakti TB. Mereka kadang lebih suka berobat ke puskesmas yang jauh, ketimbang puskesmas dekat tempat tinggal mereka, karena malunya itu.
Jikapun dikatakan penyakit TB adalah penyakit orang miskin, rasanya tidak juga. Beberapa penderita TB bahkan ada yang berprofesi pegawai negeri, dosen bahkan calon dokter pun ada. Padahal jika ditinjau lama pengobatannya, penderita TB lebih menjanjikan untuk cepat sembuh ketimbang penyakit lain yang telah disebut diatas, yang terkesan penyakit orang kaya, dengan waktu yang relatif terukur, yaitu paling cepat 6 bulan.
Yang lebih disayangkan lagi, stigma negatif penyakit TBjuga masih terjadi di kalangan para tenaga kesehatan lain. Sejatinya semua penyakit pada dasarnya tidak ada derajat tinggi rendah, semuanya sama, hentikan stigma negatif penyakit TB.
Memang Tantangan penanggulangan TB masih berat dan panjang. Bahkan saat ini, Indonesia menjadi peringkat ke 2 penderita TB terbanyak setelah negara India (http:dinkes.jakarta.go.id/indonesia-darurat-tuberkulosis/) . Sementara itu, disisi lain Indonesia bercita-cita bebas masalah TB tahun 2050. Akan tetapi penderita TB tidak bisa menunggu hingga tahun 2050, mereka butuh uluran tangan, sekarang dan saat ini, terlebih dari para pengabdi di bidang kesehatan.