Lihat ke Halaman Asli

Betapa Murahnya Nilai Ramadhan

Diperbarui: 6 Juni 2016   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada posting teman di laman facebook. Sederhana, lugas dan menggelitik. “Ada yang bersuka cita dan merindukan makan sahur di bulan Ramadhan. Tapi ada juga yang sudah merindukan sarapan pagi walaupun puasa baru dimulai 2 hari lagi”. Kicauan yang sepintas sepele dan menghasilkan senyum kecut. Tetapi jika diperhatikan dengan baik, inilah gambaran ramadhan di masyarakat kita sekarang ini.

Jauh sebelum puasa dimulai beberapa stasiun televisi sudah mulai menayangkan iklan produk yang biasa laris manis di bulan puasa. Beberapa situs belanja daring menggoda dengan tawaran makanan puasa. Beberapa mall sudah mulai persiapan dengan berbagai program diskon atau paket buka bersama. Beberapa travel biro juga dengan semangatnya menggulirkan program-program pelesiran yang aduhai. Ada lagi yang lucu, beberapa pengembang mengemas promosinya dengan harga special Ramadhan..!! Bahkan… Tiket kereta api sudah ludes..!! Tiket pesawat yang murah sudah habis..!! Tinggal tiket bis yang hanya dijadikan sebagai alternatif saja. Harga sembako? Jangan ditanya. Sudah mulai merangkak naik dengan alasan klasik karena mulai mendekati Ramadhan. Ada apa dengan ramadhan?

Iseng, membuka laman medsos. Beberapa teman memposting aktivitasnya dengan orang-orang tercinta. Sudah tentu lengkap dengan fotonya. Mayoritas postingan itu adalah : “Piknik terakhir menjelang ramadhan.” “Dinner bersama orang-orang terkasih sebelum puasa.” “Silaturahim dan makan bareng sebelum dilarang makan siang.” “@Mall…… belanja kebutuhan ramadhan”. “@pasar tanahabang_berburu keperluan lebaran.” Ada apa dengan ramadhan?

Hari Minggu, 5 Juni 2016. Seperti biasa tugas rutin mingguan mengantar “mantan pacar” belanja ke pasar tradisional. Astaghfirullah, penuhnya pengunjung sungguh luar biasa. Di luar dugaan. Ternyata di dalamnya lebih sumpek lagi. Tak ada pedagang yang bisa leluasa bernafas. Antrian mengular di setiap kios. Pedagang pun kerepotan melayani pembeli. Harga? Jangan tanya. Kesempatan mereka menaikannya suka-suka. Padahal ada yang berjanji untuk menurunkan harga menjadi lebih “waras” dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ada apa dengan Ramadhan?

Ramadhan tiba. Ini kali yang ke sekian tergantung usia kita saat ini. Sekian kali Ramadhan datang dan pergi, sekian kali itu pula kita merasakan manfaatnya atau tidak sama sekali..!! Ramadhan adalah bulan pensucian diri. Bulan penuh rahmat. Bulan tempat kita menempa diri menjadi insan terbaik. Bulan ujian untuk menjadi manusia paripurna. Bulan penuh keberkahan saat dimana pahala kebaikan dilipatgandakan. Bulan dimana syetan terkutuk diikat dan pintu surga dibuka selebar-lebarnya. Bulan dimana kita dilarang makan minum walaupun halal dan melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Betulkah seperti itu?

Ramadhan tiba. Masjid dan mushola penuh dengan orang yang solat tarawih dan tadarus. Penuh sesak sampai harus membuat bangunan tambahan sementara. Tapi itu hanya hari-hari pertama sampai ke sepuluh saja biasanya. Selepas itu mal, bandara, terminal, stasiun dan jalanan yang dipenuhi orang mudik. Warung makan dan restoran tutup di siang hari. Tapi itu hanya seminggu pertama saja biasanya. Selepas itu dengan tanpa rasa dosa apalagi risi, banyak diantara mereka yang bebas makan dan minum. Orang bergegas pulang cepat saat berbuka supaya bisa berkumpul bersama keluarga tercinta. Tapi itu hanya lima belas hari pertama biasanya. Selepas itu berbagai undangan buka bersama lebih mendominasi hari-harinya. 

Orang menahan diri dan nafsunya supaya terjaga lisan dan perbuatannya. Tapi itu hanya sesaat ketika puasa dimulai. Selepas itu kita semua kembali seperti sediakala, seperti di bulan-bulan biasa. Yatim/piatu, dhuafa bak di dalam surga selama bulan puasa. Undangan berbuka puasa bersama dan santunan mengalir tanpa henti setiap hari. Dari emperan mushola sampai hotel berbintang mereka singgahi demi selembar dua lembar sarung dan baju  serta sehelai amplop uang santunan. Mendadak jadi terkenal, sulit menyusun jadwal karena banyaknya orang-orang yang juga mendadak jadi dermawan dan sangat peduli akan ketidakberdayaan mereka. Tetapi itu hanya sebulan. Selepas itu kembali mereka ke dalam dunia dhuafanya. Betulkah seperti itu?

Barangkali ada yang keliru dengan ibadah Ramadhan kita. Keliru yang disadari atau tidak. Keliru yang diskenariokan atau mengalir secara alamiah. Yang pasti “kesakralan” Ramadhan sudah semakin tergerus. Disadari atau tidak saat ini kita lebih mementingkan kulit daripada isinya. Bukankah puasa itu melatih kita untuk berempati dengan mereka kaum dhuafa? Lalu apa artinya jika kita menghabiskan ratusan ribu rupiah untuk membeli makanan saat berbuka? Dimana letak latihan empatinya ketika kita kekenyangan?  

Bukankah puasa itu mengajari kita tentang kebersahajaan dalam hidup? Lalu apa artinya ketika kita harus membelanjakan jutaan rupiah hanya untuk dua tiga potong pakaian lebaran? Dimana letak empatinya ketika kita hilir mudik dihadapan mereka dengan pakaian yang bagi mereka dalam mimpi pun belum tentu terbeli?

Jika melihat kembali status-status medsos yang tertulis diatas, sungguh miris jika makna puasa dikerdilkan sedemikian rupa.  “Piknik terakhir menjelang ramadhan.” “Dinner bersama orang-orang terkasih sebelum puasa.” “Silaturahim dan lunch bareng sebelum dilarang makan siang”. Sepertinya, seolah-olah kita akan memasuki satu masa dimana kehidupan kita serba dikekang, sangat dibatasi. Periode yang kita tidak mungkin lagi mendapatkan kebebasan seperti sebelumnya. Habis sudah kesempatan itu, maka puaskanlah saat ini sebelum Ramadhan tiba. Dari status “@Mall…… belanja kebutuhan ramadhan” “@pasar tanahabang_berburu keperluan lebaran” mengisyaratkan bahwa Ramadhan adalah bulan special, bulan yang tidak ada duanya. Tetapi bukan spesial dari makna ruhaninya. Lebih spesial kepada urusan duniawinya.

Bisa jadi ada skenario besar untuk menenggelamkan umat islam ke dalam hubuddunya? Lebih mencintai dunia dan berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam ukuran materi. Puasa sudah lama “dijauhkan” dari umat Islam. Puasa “didekatkan” kepada kebendaan duniawi dengan polesan ibadah. Sarung, baju koko, mukena, peci dan berbagai asesoris lebaran dengan harga menggoda lebih dikedepankan daripada rasa empati kepada sesama. Empati ada, tapi itu hanya sekedar lips-service pemanis iklan belaka. Pengajian atau tausiyah hanya sekedar pelengkap dan terselip lima menit saja diantara durasi jam-jaman acara televisi berbalut Ramadhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline