Pemilu legislatif usai sudah. Real count belum tuntas, tapi para petinggi partai sudah sibuk banget ngurusin langkah-langkah berikutnya. Mereka begitu yakin bahwa hasil quick count sangat bisa dipercaya. Karena berdasarkan pengalaman yang ada di berbagai belahan bumi ini, biasanya selisih antara quick count dengan real count tidak cukup signifikan. Sehingga partai-partai yang bisa nangkring di 5 besar pede-pede aja untuk melakukan manuver-manuvernya.
Manuver itulah yang membuat ~paling tidak saya sendiri~ bosan dengan pemberitaan akhir-akhir ini. Apalagi di media TV yang memunculkan pakar-pakar politik dadakan yang analisanya bisa ngalor-ngidul-ngetan-ngulon. Analisanya tajam tapi belum tentu terpercaya. Analisa abal-abal asal njeplak tapi bikin seru, paling tidak buat dirinya sendiri yang sudah bisa muncul di televisi.
Lalu sebenarnya pemilu itu untuk siapa? Jarene buat rakyat dan bangsa tercinta ini. Apa betul? Ada buktinya? Justeru yang ada malah saling serobot, saling telikung, salip salipan bukan cuma antar parpol, justru di dalam parpolnya sendiri pun lebih dahsyat. Hanura, gara-gara perolehan suaranya kurang signifikan punya wacana HT dikeluarkan dari partai. Padahal donasinya untuk partai tidak terhitung lagi. Gerinda, muncul dua faksi yang berbeda. PPP, dengan mosi tidak percayanya kepada sang Ketum. PKB, yang kemarin menjagokan sang Professor ndangdut sekarang ini ketuanya berfikir untuk maju sendiri. PDIP, geram dengan gagalnya Jokowi effect. Golkar, sudah sejak jauh-jauh hari sebelum pemilu ada faksi-faksi yang berseberangan didalamnya. Yang lain, setali tiga uang.
Lalu, bagaimana dengan caleg-calegnya? Tingkat kunjungan ke psikiater, psikolog, klinik konsultasi, paranormal, pesantren, panti rehabilitasi meningkat tajam. Cuma beritanya saja kurang menggelegar. Lha kok bisa mereka seperti itu? Jarene, mereka orang-orang yang amanah, teruji, bersih, ikhlas membangun negeri, jujur dan tanpa pamrih dalam berjuang. Itu kan yang mereka tampilkan di poster, baliho, spanduk, amplop beserta raut muka dan penampilannya yang alim, bersih dan tampak cerdas. Lha, kalau mereka memiliki sifat-sifat seperti itu tentu jika kalah sekalipun tidak perlu mereka mendatangi tempat-tempat rehabilitasi psikis yang mendadak laris.
Lebih gilanya lagi ada caleg gagal yang meminta uang serangan fajarnya dikembalikan. Karpet masjid ditarik lagi. Pompa air sumbangan ke warga dicabut kembali. Menutup akses jalan masyarakat karena warga didaerah itu tidak memilihnya. Para caleg bertahan di kantor DPC karena gak berani pulang hanya gara-gara belum bayar honor saksi.
Lucu sekaligus ngenes melihatnya. Beginikah profil para wakil rakyat yang akan mengurus kita nantinya andai mereka menang dalam pemilu kemarin. Alhamdulilah, ternyata mereka tidak terpilih. Lalu apakah yang terpilih juga kondisinya lebih bagus? Belum tentu juga. Lha, nyatanya si biru yang mendominasi pemilu 2004 dan 2009 mesti terjerembab di pemilu kali ini gara-gara kader-kader militannya babak belur dihajar KPK. Lha, buktinya si moncong putih juga ternyata menduduki rangking pertama balapan korupsi para kadernya.
Nyatanya yang sesungguhnya terbukti secara gamblang, pemilu itu untuk parpol saja kok. Buktinya rakyat anteng-anteng saja selepas tanggal 9 April kemarin. Business as usual. Yang karyawan kantoran ya kerja di kantornya. Yang kerja di pabrik, ya tetep kerja seperti biasa. Pedagang di pasar, mall, ruko masih saja dengan kesibukannya masing-masing. Penjahat tetap dengan aksi kejahatannya. Pembunuhan berlanjut terus malah makin marak. Kecelakaan lalu lintas rasanya tidak berkurang. Pelecehan seksual, perceraian masih juga jadi berita yang top.
Padahal di dunia yang berbeda yaitu dunia politiknya para politikus, mereka sedang berjuang hidup dan mati untuk KEPENTINGANNYA SENDIRI. BUKAN kepentingan rakyat. Lagipula rakyat pun sudah bosan, jenuh dan muak dengan segala akal bulus politikus rakus yang hanya berujung fulus.
Ujung-ujungnya rakyat jadi skeptis, apatis dan materialistis. Makanya jangan heran jika selama pemilu beredar istilah NPWP (Nomor Piro Wani Piro). Ada masyarakat yang to the point minta uang saweran saat caleg mendatanginya. Politik uang diharamkan dan sangsinya berat, pidana. Namun nyatanya TIDAK ADA caleg atau partai yang tidak melakukan money politic. Lalu kenapa tidak ada tindakan untuk menghukum mereka yang terbukti melakukannya? Lha, kalau itu dilakukan ya bubar pemilu ini.
Dunia politik plus calegnya berbeda dengan dunia rakyat seperti kita ini. Mereka asyik dengan pembagian jatah kursi dan perebutan kekuasaan, sementara kita masih saja harus berjuang menafkahi diri kita masing-masing. Dua dunia yang berbeda ini ibarat ILC di TV One dan ILK di Trans TV. Di ILC orang-orangnya merasa hebat, terpelajar dan orang lain itu bodoh. Mereka berdebat panjang, saling hujat, ngotot, menghabiskan durasi lama hanya untuk terlihat saya ini pinter lho (seringkali seperti itu). Sementara di ILK suasananya cair, penuh gelak tawa, tidak ada beban, ga saling keminter, persis kehidupan rakyat kita yang mengalir begitu saja.
So, biarkan saja para politikus ini rebutan dan saling menjegal untuk menentukan presidennya. Entah Jokowi, Rhoma Irama, Prabowo, Mahfud MD atau Akil Muhtar sekalipun. Mari kita pilih sendiri presiden kita di dunia kita, dunia ILK. Saya akan pilih Cak Lontong sebagai presidennya. Cerdas, bernas dan tidak ganas…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H