Lihat ke Halaman Asli

Murahnya Harga Seorang Anak

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kasus yang menimpa satu orang siswa TK JIS tidak berhenti sampai ditutupnya operasional TK tersebut. Proses hukum terus berlanjut, bahkan disinyalir korbannya bukan hanya satu orang. Lebih gila lagi ada kemungkinan pelakunya bukan cuma petugas cleaning service saja. Dan rupa-rupanya ini juga bukan sekedar masalah lokal, lebih dari itu ternyata jaringan pedofilia internasional sudah menggurita di negara ini. Astaghfirulah, kita tidak sadar bahwa anak-anak kita setiap saat menjadi incaran mereka.

Barangkali bias dianggap lebay kalimat terakhir di atas. Tetapi yang jelas bahaya laten itu memang ada. Dan kita sering terlambat menyadari bahwa kapan pun dan di mana pun bisa jadi anak-anak kita akan menjadi korban berikutnya.

Sebetulnya disini kita sebagai orang tua secara tidak langsung juga kadang turut menyumbang terjadinya kekerasan seksual semacam itu. Mari kita timbang-timbang sejauh ini sudah seberapa besar kita menghargai anak-anak kita. Sudah seberapa dekat hubungan kita dengan mereka. Sudah seberapa banyak kita tahu dengan apa yang mereka mau. Dekat atau jauhnya “jarak” kita dengan anak-anak tentu semuanya berawal dari seberapa besar harga mereka di mata kita sebagai orang tuanya. Jauhnya kita dengan mereka akan menyebabkan dekatnya “orang lain” dengan anak-anak kita. Lalu?

Di zaman yang serba cepat, instant, serba tergesa-gesa mengejar target dan ambisi, segala sesuatunya diukur dengan seberapa besar materi yang kita miliki. Seberapa banyak pencapaian prestasi akan menentukan seberapa sukses kita menduduki posisi yang kita duduki. Semua tertuju pada itu, fokus untuk selalu meningkatkan kinerja.

Konsekuensi dari semua itu banyak sisi sosial yang akhirnya menjadi  prioritas ke tujuh, ke delapan bahkan tidak menjadi sesatu yang penting sama sekali. Sisi sosial yang paling banyak dikorbankan justru lingkungan keluarga. Banyak waktu tersita untuk kegiatan di luar. Habis energi tercurah untuk menyelesaikan berbagai masalah pekerjaan, bisnis, urusan pergaulan, komunitas, hobi dan lain-lain. Lalu kapan ada kesempatan anak-anak kita merasakan hangatnya belaian tangan perkasa sang ayah atau kecupan lembut penuh kasih sang ibu?

Pernahkah terfikir oleh kita, kadang atau mungkin seringkali anak bernilai sangat rendah di mata orangtua. Kadang dia lebih rendah dari harga sebuah guci kristal. Ketika guci itu pecah tanpa sengaja, maka rasa marah kemudian memecahkan perasaan anak, merendahkan nilai anak. Guci lebih berharga saat itu..!

Kadang dia lebih rendah nilainya dari sebuah mangkok atau piring, yang jika pecah, suara kemudian meninggi memecahkan hati sang anak. Atau lebih rendah dari semangkok sayur yang tertumpah, karena tangan kecilnya berusaha membantu ibu di dapur. Mata yang melotot terasa lebih pantas walaupun harus menumpahkan air mata sang anak...!

Atau lebih rendah dari sebuah mobil baru yang jika tergores, maka goresannya dianggap lebih berbahaya ketimbang goresan luka di hati sang anak. Seringkali  anak juga lebih rendah nilainya dibanding facebook, twitter, instagram atau pertandingan bola. Sehingga lebih banyak waktu dan keseriusan yang dihabiskan untuk media sosial  dan nonton bola ketimbang mendengarkan cerita anaknya di sekolah.

Lalu berapa sebetulnya harga sang anak? Dengan cepat kita akan menjawab, nilainya tak bisa diukur dengan materi, tak ternilai harganya. Betulkah? Tapi mengapa contoh-contoh diatas lebih dominan terjadi dalam kehidupan kita? Lupakah kita bahwa mereka adalah satu keajaiban dalam hidup yang kehadirannya selalu kita nantikan. Kita impikan keberadaan mereka saat mereka belum lahir ke dunia. Berupaya dengan berbagai macam cara jika sang isteri belum juga menunjukan tanda-tanda kehamilan. Bahkan perbuatan gila dan nekat pun bisa saja dilakukan, menculik, mencuri, menjual belikan bayi merah yang baru lahir. Semuanya hanya demi memiliki anak..!

Lalu ketika mereka ada di tengah-tengah kita mengapa semuanya bisa menjadi berbeda? Ingat, mereka lah yang akan menjadi tumpuan kita saat kita renta dan tidak memiliki daya untuk hidup sendiri. Mereka lah yang akan menjadi penolong kita di yaumil akhir. Mereka yang akan memperpanjang usia historis kita dengan doa dan amal saleh yang kita ajarkan dan diamalkan mereka. Bukan harta yang kita miliki. Bukan materi yang kita punyai. Bukan rekan kerja,  bukan partner bisnis atau teman kongkow-kongkow di kafe.  Mereka ada hanya sesaat, tetapi anak kita akan ada selamanya dengan kita, dengan catatan tergantung sejauh mana keikhlasan kita menahan diri hingga tidak merusak hatinya….




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline