17 April 2019 adalah hari dimana masyarakat Indonesia merayakan pesta demokrasi besar besaran, suara rakyat sangat menentukan pada hari itu bahkan diantara paslon ada yang membeli suara rakyat perorang dengan nominal tertentu. Rakyat pinggiran yang biasanya hanya menjadi sampah diantara pejabat Negara mendadak di agung-agungkan dengan maksud dan tujuan tertentu, berbagai update-an social media yang ramai dengan postingan fanatisme yang saling membanggakan bahkan menjatuhkan antar paslon dengan berdalil "Untuk Indonesia Menjadi Lebih Baik"
Namun Ironisnya ketika mereka yang pada hari itu berbaik hati kepada rakyatnya hanya bertahan sesaat, janji-janji manis yang mereka kemukakan pada saat kampanye seolah hanya hembusan angin yang lewat tanpa ada jejak yang bisa diketahui.
Ketika pasangan paslon sudah bertugas dan mengeluarkan berbagai kebijakan rakyat pinggiran menjerit. Seperti pada kasus "sexy killer", Dari kasus tersebut kita bisa mengambil hikmah dari uniknya strategi politik diindonesia. Yang besar semakin besar dan yang kecil semakin menjerit.
Adapun pengalaman penulis pada hari bersejarah itu sangat memprihatinkan, bukan tanpa alasan namun nyatanya demikian, dilihat dari antusias masyarakat dan fakta lapangan pada hari itu seperti :
- Hampir sebagian besar terutama warga lanjut usia kebingungan dalam mencoblos surat suara, selain ada 5 lembar kertas suara juga harus memilih partai dan calegnya.
- Hampir tiap orang dalam mencoblos dibilik suara sekitar 5-10 menit, bisa dibayngkan jumlah pemi lih sedangkan waktunnya hanya kira-kira sampai jam 1 siang.
- Banyaknya kendala teknis. (ketersediaan paku harus dari pihak balai desa dan tidak boleh dari tempat lain).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H