Sekitar 10 tahun lalu, teman saya seorang dosen di Malaysia menyampaikan keheranannya tentang kata-kata asing yang banyak didengar dalam siaran televisi, dan ditemukan dalam surat kabar berbahasa Indonesia, yang jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan di Malaysia. Sehari-hari, warga Malaysia memang sering mencampuradukkan Bahasa Inggris dan Bahasa Malaysia, namun tidak demikian halnya dengan pesan-pesan resmi pemerintah.
Kewajiban untuk menggunakan Bahasa Malaysia dalam dokumen resmi menyebabkan otoritas Malaysia menerjemahkan istilah-istilah asing ke dalam Bahasa Malaysia. Istilah Bahasa Malaysia pengganti Bahasa asing tersebut tak hanya digunakan dalam dokumen resmi, tetapi juga digunakan secara meluas oleh masyarakat termasuk media massa kemungkinan karena warga Malaysia lebih mudah memahami maknanya. Tidak mengherankan istilah Bahasa Malaysia misalnya untuk online, email dan website umum digunakan masyarakat termasuk media massa.
Semula, saya cukup berharap dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 63 tahun 2019 tentang kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi baik lisan maupun tulisan, baik bagi pemerintah maupun swasta. Namun pada kenyataaannya, Perpres tersebut tidak digubris justru oleh pejabat sendiri terlihat dari penggunaan istilah-istilah asing dalam wawancara dan pesan-pesan resmi, yang diikuti oleh para penyiar televisi dan masyarakat pada media sosial.
Dengan tingkat pendidikan penduduk Indonesia yang rata-rata kelas 2 SMP, dapat dipastikan sebagian masyarakat tidak mudah mengerti dengan istilah-istilah asing tersebut. Istilah Panic Buying, Social Distancing, Work from Home, Lockdown dan sebagainya, terdengar dan terbaca di mana-mana walau mereka yang menuliskan dan menyebut istilah tersebut belum tentu paham arti yang sebenarnya.
Sebagai contoh, istilah Bahasa Inggris On The Way (OTW) dianggap oleh sebagian orang awam sebagai Bahasa Indonesia. OTW digunakan untuk mengatakan sesuatu yang terkait dengan perjalanan tanpa peduli situasi pembicara tidak sedang dalam perjalanan atau belum berangkat menuju ke tempat tujuan.
Jika Pemerintah Malaysia dapat menemukan istilah Bahasa Malaysia untuk mengganti istilah-istilah asing dalam penyampaian pesan resmi yang terkait dengan Covid-19, mengapa tidak dengan Pemerintah Indonesia?
Pemerintah Malaysia berupaya menggunakan istilah Bahasa Malaysia walau warga Malaysia lebih mengerti Bahasa Inggris dibanding warga Indonesia karena Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua di negara tersebut.
Beberapa istilah Bahasa Malaysia dalam pesan yang terkait Covid-19 misalnya Perintah Kawalan Pergerakan untuk lockdown dan jarak social untuk social distancing. Malaysia juga membuat pesan-pesan versi Bahasa Inggris dengan menggunakan istilah-istilah asli.
Apakah perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia lebih terbatas dibandingkan Bahasa Malaysia, kemampuan Pemerintah Indonesia lebih terbatas dalam mencari padanan kata atau kita kurang peduli dengan keampuhan kata dalam penyampaian pesan ?
Dengan pendidikan masyarakat Indonesia yang relatif rendah, pemerintah seharusnya menggunakan momentum yang ada sebaik-baiknya bukan hanya untuk menyampaikan pesan tetapi juga pembelajaran.
Dalam kondisi genting seperti ini seharusnya istilah-istilah Bahasa Indonesia yang sederhana dan lugas terus menerus dikumandangkan oleh para pejabat dan penyiar televisi sehingga otak pendengar diarahkan untuk mengingat makna dari istilah tersebut tanpa perlu bertanya ke sana kemari.