Lihat ke Halaman Asli

Fariastuti Djafar

TERVERIFIKASI

Pembelajar

Mengenang Sekolah "Penjara” Favorit Orangtua di Kota Singkawang

Diperbarui: 18 Juli 2016   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para siswa beserta Kepala Sekolah pertama (Bapak Soetrisno) dan beberapa guru dengan latar belakang bekas sekolah Nam Hua. Sumber: Alumni 1975

Kisah seorang guru yang harus menjalani persidangan karena dituntut orangtua yang tidak terima anaknya dicubit, mengingatkan saya akan masa sekolah  di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 3 Singkawang. 

Dibandingkan SMP lainnya di Kota Singkawang, sekolah ini dikenal unik karena cara penerapan disiplin yang relatif keras khususnya sampai pertengahan tahun 1980an. Ditambah dengan warna baju seragam pertama yang merupakan kombinasi baju biru muda dan bawahan biru tua, yang mirip dengan seragam narapidana masa itu, jadilah SMPN 3 dijuluki “sekolah penjara”.

Baju seragam pertama SMPN 3, kombinasi biru muda dan biru tua, mirip seragam narapidana masa itu, hasil rancangan Ibu Sri Hartini. Sumber: Alumni 1978

Sejak resmi didirikan pada tahun 1966 sampai sekarang, lokasi SMPN 3 tidak pernah berpindah. Sekolah ini menempati bekas bangunan sekolah Nam Hua, sekolah khusus Tionghoa, yang diserahkan kepada Pemerintah Indonesia pada 1 Agustus 1966. 

Siswa di sekolah ini mulanya dikenal sebagai anak nakal dan “buangan”. Mereka  dianggap “dibuang” oleh SMPN 1 dan SMPN 2 Singkawang, walau sebenarnya siswa tersebut dipindahkan ke sekolah baru (SMPN 3) sebagai siswa angkatan pertama tahun 1965. Kenakalan pada masa awal SMPN 3 antara lain beberapa siswa laki-laki yang mengikat seorang siswi di pohon di belakang sekolah dan yang mengajak guru berkelahi.

Kepala Sekolah SMPN 3 yang pertama, Bapak Soetrisno yang disiplin dan berwibawa, telah menanamkan dasar disiplin yang kokoh di sekolah ini. Sesekali, Bapak Kepala Sekolah menggendong anaknya ke sekolah dengan kain gendongan, namun sama sekali tidak mengurangi wibawa beliau. 

Sifat kepemimpinan Kepala Sekolah tersebut menyebabkan Bapak Eko Marseto, yang pada tahun 1969 masih berusia 19 tahun dan baru pertama kalinya menjadi guru, dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar. 

Padahal sebagian siswanya terkenal nakal, berbadan lebih besar dan berumur lebih tua dari beliau. Bapak Eko Marseto, guru Ilmu Ukur, kemudian dikenal sebagai guru yang paling ditakuti sekaligus disegani, karena sering menghukum dengan mencubit siswa yang melanggar peraturan.   

Disiplin yang keras dicerminkan oleh berbagai hukuman yang dikenakan pada siswa yang melanggar peraturan. Misalnya secara berkala, ketika sedang belajar, seorang guru akan masuk ke ruang kelas untuk melakukan razia rambut. Siswa laki-laki yang rambutnya melebihi bagian bawah telinga dan siswa perempuan berambut panjang yang rambutnya tidak diikat, akan mendapatkan hukuman berupa pemotongan rambut. 

Kuku harus bersih dan tidak boleh panjang. Jika ada razia dan kuku siswa terlihat tidak sesuai standar, maka kuku tersebut dipukul dengan penggaris atau pemukul lonceng. Siswa yang terlambat datang untuk membersihkan kelasnya, sesuai jadwal yang telah ditentukan, akan dijemur di halaman sekolah. 

Siswa yang ketahuan menonton film 17 tahun keatas, akan dihukum lari keliling kota melewati tiga bioskop di Kota Singkawang, tanpa alas kaki bagi siswa laki-laki dan perempuan, ditambah telanjang dada bagi siswa laki-laki. Namun hukuman tersebut tidak juga membuat beberapa siswa jera, terbukti dengan melanggar kembali aturan sekolah.  

Bioskop Kota Indah, salah satu dari tiga bioskop yang sangat terkenal di Singkawang sebelum tahun 1980an. Sumber: http://caraonline.blogspot.co.id/2011/03/sejarah-kota-singkawang.html

Alih-alih dijauhi, disiplin yang keras di SMPN 3 pada masa itu malah membuat sekolah ini menjadi semakin terkenal, apalagi disertai dengan prestasi akademik maupun non-akademik, yang berlanjut sampai sekarang. Sekolah ini berstatus terakreditasi dengan nilai A. Pada tahun 2009-2010, sekolah ini pernah menjadi sekolah rintisan bertaraf internasional kedua di Kalimantan Barat dan yang pertama, serta satu-satunya di Singkawang, sebelum akhirnya dilarang oleh pemerintah.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline