Di tengah semangat membangun daerah perbatasan yang ditunjukkan Jokowi dalam kunjungan singkatnya ke daerah perbatasan pada tahun pertama pemerintahannya, dan janji membangun perbatasan secepatnya, pengalaman masa lalu hendaknya menjadi pelajaran. Perencanaan pembangunan sarana dan prasarana yang kurang cermat didasarkan data yang tidak valid serta diabaikannya pandangan kritis dari masyarakat telah menyebabkan pemborosan sumber daya yang seharusnya dapat digunakan untuk kebutuhan lain dengan lebih efektif.
Berikut adalah tiga kegagalan pembangunan perbatasan di Entikong yaitu Rumah Susun Sewa (RUSUNAWA) Entikong, Balai Latihan Kerja (BLK) Entikong dan Pasar Perbatasan Entikong yang lokasinya diluar namun tidak jauh dari Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong.
RUSUNAWA dan BLK diresmikan pada 2005 oleh gubernur Kalbar saat itu, Usman Dja’far yang sering diakui sebagai kesuksesan beliau dalam membangun perbatasan dengan konsep Border Development Centre (BDC), dan pada 2007 oleh Presiden SBY. Saya menduga tidak ada laporan Pemda Kalbar tentang kegagalan tersebut kepada Jokowi dan beliau tidak dibawa untuk melihatnya.
RUSUNAWA Entikong
RUSUNAWA dibangun dengan dana sekitar RP. 10 Milyar terdiri dari 2 blok yang terdiri dari 48 pintu per blok sehingga jumlahnya ada 96 pintu dengan ukuran pintu tipe 21. Sejak diresmikan gubernur Usman Dja’far pada 2005 sampai sekarang tidak ada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tinggal di perumahan tersebut. Ketika melihat bangunan tersebut pada 2012, hanya ada empat pintu yang disewa oleh pendatang yang bekerja di Entikong dan yang jelas mereka bukan TKI di Malaysia.
[caption id="attachment_367791" align="aligncenter" width="448" caption="Gerbang RUSUNAWA untuk TKI"][/caption]
[caption id="attachment_367792" align="aligncenter" width="448" caption="RUSUNAWA TKI yang tak ditinggali TKI"]
[/caption]
RUSUNAWA dibangun dengan menggunakan asumsi TKI di Sarawak nantinya tetap tinggal di Indonesia (Entikong) seperti halnya tenaga kerja dari Malaysia yang ulang alik dari Johor Bahru ke Singapura. Harapannya adalah Indonesia akan diuntungkan karena TKI yang digaji dengan Ringgit akan membelanjakan uangnya di Indonesia dalam Rupiah. Ide tersebut kelihatannya sangat bagus namun kondisi TKI di Sarawak dan perbatasan darat Kalimatan Barat (KalBar) dan Sarawak jauh berbeda dengan orang Malaysia yang bekerja di Singapura dan perbatasan darat Johor Bahru dan Singapura.
TKI di Sarawak dari sejak sebelum RUSUNAWA dibangun sampai sekarang, umumnya bekerja sebagai buruh di perkebunan, pabrik dan sektor bangunan serta menjadi pembantu rumah tangga (PRT). PRT tinggal di rumah majikan sedangkan mereka yang bekerja di perkebunan dan di pabrik umumnya tinggal di asrama.
Pekerja bangunan tinggal di “bedeng” yang dibangun di lokasi bangunan yang sedang dikerjakan atau menyewa rumah yang dekat dengan lokasi kerja. PRT berada 24 jam di rumah majikan tanpa hari libur sementara pekerja lainnya bekerja mulai jam 8 pagi sampai jam 5 sore dan sering diikuti lembur setelahnya.
Dengan fasilitas tempat tinggal yang disediakan majikan/perusahaan dan sewa rumah yang relatif murah dibandingkan dengan biaya naik angkutan umum bolak balik dari tempat kerja ke Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Tebedu yang buka jam 6 pagi dan tutup jam 6 sore ditambah keletihan fisik setelah bekerja dan karena perjalanan, para pekerja memilih tinggal di Sarawak.
Lokasi tempat bekerja TKI yang umumnya di kota atau pedalaman juga membuat pintu perbatasan menjadi relatif jauh. Tidak ada angkutan umum dari Kuching (ibukota Sarawak) ke PPLB Tebedu kecuali angkutan kota (angkot) yang beroperasi hanya sampai sekitar pukul 1 siang dari Terminal Kuching ke PPLB Tebedu dan pukul 3 sore dari PPLB Tebedu ke Kuching. Lagipula, angkot Malaysia dan kendaraan roda dua tidak boleh masuk ke Indonesia, demikian pula sebaliknya ke Malaysia.
Jika tinggal di RUSUNAWA juga pakai bayar, mengapa harus tinggal di situ ? TKI asal Entikong dan punya rumah di Entikong saja tidak mau bolak-balik Entikong Sarawak setiap hari, apalagi TKI dari luar Entikong yang hanya menjadikan PPLB Entikong sebagai tempat transit. Mereka yang bekerja sebagai ekspatriat yang umumnya dari luar Entikong juga tidak mau ulang alik Kuching Entikong walau mereka punya mobil pribadi. Lokasi TKI di Sarawak juga bertebaran (lihat peta). Paling dekat PPLB Tebedu/Entikong adalah kota Samarahan (sekitar 1,5 jam perjalanan) kemudian Kuching (sekitar 2 jam perjalanan). (Catatan: jumlah pemilih di luar negeri di setiap lokasi di peta tidak semua TKI, namun kebanyakan TKI). Seorang pejabat Kabupaten Sanggau mengatakan RUSUNAWA ini akan lebih bermanfaat jika dibangun di kota Sanggau yang ramai penduduknya dibandingkan Entikong.
[caption id="attachment_367837" align="aligncenter" width="448" caption="Tebaran lokasi TKI di Sarawak. Sumber: PPLN Kuching Sarawak"]
[/caption]
BLK Entikong
BLK Entikong direncanakan untuk tempat pelatihan calon TKI yang akan berangkat ke luar negeri. Jika tidak kritis melihatnya, justifikasi tersebut terlihat sangat bagus. Pertanyaannya adalah siapa yang dimaksud dengan calon TKI? BLK Entikong terlalu besar jika hanya untuk TKI dari Entikong dan mereka kurang bahkan tidak memerlukannya. Untuk TKI dari luar Entikong (baik dari Kalbar maupun luar Kalbar), siapa yang akan membiayai mereka jika harus tinggal dan dilatih di BLK Entikong ? Bukankah lebih baik TKI tersebut dilatih di BLK sekitar tempat asalnya masing-masing dan setelah siap baru berangkat ke manapun mereka mau dan tidak harus ke Malaysia melalui Entikong ?
[caption id="attachment_367813" align="aligncenter" width="448" caption="BLK untuk TKI, TKI yang mana ?"]
[/caption]
[caption id="attachment_367814" align="aligncenter" width="448" caption="BLK luas dan lengkap namun lengang tanpa aktivitas untuk TKI"]
[/caption]
Dengan asumsi dasar yang tidak tepat ketika membuat perencanaan, jangan heran pemanfaatan BLK Entikong jauh dari optimal. Sekali-sekali BLK ini digunakan untuk penampungan sementara korban perdagangan manusia yang akan dipulangkan ke daerah setelah berhasil keluar dari Malaysia. Rumah pegawai BLK yang disediakan di lokasi tersebut, menurut informasi penduduk setempat, juga jarang ditempati karena apa yang mau dikerjakan jika memang BLK tersebut tidak ada kegiatan rutin.
[caption id="attachment_367815" align="aligncenter" width="448" caption="Rumah untuk pegawai BLK yang juga lengang"]
[/caption]
Pasar Perbatasan
Pasar ini dibangun rencananya untuk menarik konsumen dari Malaysia. Ketika krisis ekonomi 1999, terjadi “ledakan” pengunjung dari Malaysia ke pasar di samping PPLB Entikong karena nilai rupiah yang semakin melemah terhadap ringgit, sampai memunculkan “pasar kaget” dengan banyak pedagang dari Pontianak dan pulau Jawa. Melihat potensi yang cukup besar Pemerintah membangun pasar permanen yang lokasinya agak jauh dari area PPLB Entikong, melarang pasar kaget di samping PPLB Entikong dan mewajibkan orang asing masuk dengan menggunakan paspor. Pemerintah Indonesia berasumsi penduduk Malaysia banyak memiliki paspor, padahal tidak demikian.
Jumlah pengunjung terus menurun. Penyebabnya antara lain orang Malaysia merasa berbelanja di Entikong yang semakin tidak nyaman dan kurang aman karena banyak pedagang valuta asing gelap, pemaksaan untuk menggunakan jasa porter pengangkut barang dan sebagainya. Pasar kaget sudah tidak ada, orang Malaysia semakin enggan ke Entikong dan rupiahpun lambat laun relatif menguat terhadap ringgit.
[caption id="attachment_367808" align="aligncenter" width="447" caption="Pasar Entikong kurang mampu menarik perhatian pedagang dan turis, Sumber: http://setda.sanggau.go.id/index.php?option=com_content&view=category&id=34:kecamatan-entikong&layout=blog&Itemid=83"]
[/caption]
Alih alih pindah ke pasar perbatasan yang semula untuk menampung mereka, pedagang dari pasar Entikong malah pindah ke Serikin Malaysia yang dekat Pos Lintas Batas (PLB) Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Mereka ke Serikin melalui PPLB Entikong dan Tebedu daripada melalui PLB Jagoi Babang karena lebih dekat. Pasar Serikin yang semula didominasi pedagang dari Kabupaten Sambas, Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang yang memang dekat dengan PLB Jagoi Babang yang menjual produk pertanian, semakin ramai dengan pedagang dari Pontianak dan Pulau Jawa dengan produk non pertanian. Pasar Serikin bertambah ramai dan bahkan menjadi ikon pariwisata Sarawak (lihat link terkait)
http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/25/garuda-di-hatiku-malaysia-menafkahiku-613606.html
Tanpa mau belajar dari kegagalan pasar Entikong, Pemerintah kembali merencanakan untuk membangun pasar di Kecamatan Jagoi Babang. Pedagang dari Indonesia tidak antusias dengan ide tersebut karena orang Malaysia sudah merasa nyaman dengan Pasar Serikin karena dapat berbelanja produk Indonesia dengan harga relatif murah tanpa perlu memiliki Paspor atau Pas Lintas Batas dan tentunya tidak ada gangguan kenyamanan seperti yang terjadi di Pasar Entikong. Penduduk Serikin yang menyewakan tapak berdagang ke pedagang Indonesia juga menggertak pedagang Indonesia yang menjadi pelanggan mereka. Silakan saja pindah ke pasar Jagoi Babang, bukankah masih banyak orang Indonesia lainnya yang berminat menyewa tapak tersebut.
[caption id="attachment_367810" align="aligncenter" width="448" caption="PLB Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang, jalan masuk utama menuju pasar Serikin Malaysia"]
[/caption]