Lihat ke Halaman Asli

Farhat Faqih

Mahasiswa sastra Indonesia

Pentas Wayang di Kabupaten Tangerang

Diperbarui: 3 Juli 2023   00:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pentas wayang syarat dengan kredo yang merupakan kandungan dari kelangsungan pentas. Setiap jenis wayang memiliki ritual khusus yang ditujukan kepada sanghyang atau leluhur sebagai bentuk rasa syukur. Mengutip dari artikel yang ditulis oleh Zaenal Mutaqqin dalam Jernih.co, istilah Sanghyang di dalam terminologi sunda bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada sesuatu yang luhur, suci, dan agung. 

Definisi ini yang kemudian diyakini oleh para dalang-dalang sunda sebagai suatu kekuataan atau energi untuk melancarkan pentas wayang golek. Dengan demikian, pentas wayang golek memiliki ritus yang harus dilakukan oleh pemiliki hajat sebagai bentuk dorongan agar pementasan bisa berjalanan dengan baik.

Mas Sugeng, selaku pegiat wayang golek di Kabupaten Tangerang mengatakan bahwa disetiap acara hajatan yang mengundang wayang golek, ritual harus dilakukan oleh pemilik acara dan dalang sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang menunggu tempat tersebut, ini dilakukan supaya energi dari para leluhur menerima dan bisa membantu kelancaran pentas, dan yang paling penting tidak saling beradu atau orang sunda selalu bilang “saguru sailmu ulah saling gelut.” Biasanya ritual awal dari pementasan wayang Golek dilakukan dua jam atau tiga jam sebelum pentas dilaksanakan.“ 

Di Sunda diistilahkan sebagai Ruwatan Bumi, sedangkan di Jawa hanya diistilahkan sebagai Ruwatan. Kedua istilah ini sama-sama ditujukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur atau sanghyang.” Sambung mas Sugeng ketika diwawancarai di rumah beliau. Leluhur diartikan sebagai pemilik tempat atau daerah yang digunakan pentas, orang sunda mempercayai bahwa di setiap tempat pasti dihuni oleh hal-hal yang supranatural. Dengan cara menghormati leluhur, diharapkan tidak ada energi yang saling berbenturan sehingga berdampak pada kelancaran pentas.

Setelah ritual awal selesai, kemudian dalang melakukan ritual untuk alat-alat penunjang yang digunakan dalam pentas wayang golek, jenis alat yang diritualkan ada 7 rupa yang meliputi gong, kedebong, gendang, kenong, bonang, panggung, dan wayang goleknya itu sendiri. Ritual untuk alat-alat penunjang ini dilakukan dengan cara memotong ayam jaweran dalam istilah sunda, ayam jaweran merupakan ayam jantan yang sudah beranjak dewasa tetapi belum pernah kawin. 

Mas sugeng mengatakan “ritual untuk alat-alat ini dilakukan supaya pentas bisa terlihat istimewa walaupun cerita yang dibawakan biasa saja, itu karena energi yang hadir dipanggung membantu jalannya pentas sekaligus membuat panggung enak untuk ditonton. Dan untuk alat-alat seperti gong, kenong, dan bonang diritualkan agar orang yang memegangnya bisa fokus selama pementasan berlangsung, karena sekali saja salah membunyikannya, pementasan wayang golek akan gagal.” 

Kegagalan pentas dipecayai oleh orang sunda sebagai kesombongan manusia karena tidak menghormati makhluk supranatural, padahal menurut kepercayaan orang sunda, manusia pasti selalu berdampingan dengan makhluk-makhluk yang supranatural. Dunia ini tidak diciptakan untuk manusia semata, tetapi untuk semua makhluk dunia yang terlihat maupun tidak terlihat, maka dari itu menghormati adalah cara yang terbaik di dalam keyakinan orang sunda.

Selain ritual, makanan yang disuguhkan kepada penonton pun memiliki syarat dalam pentas wayang golek. Syarat dari makanan yang biasanya diistilahkan oleh masyarakat sunda sebagai makanan “7 pasar,” yaitu antara lain leupeut, wajig, papais, uli, sampeu, hui, dan bugis. “Makanan 7 pasar ini diyakini sebagai representasi penghormatan manusia terhadap leluhur atau nenek moyang yang telah melahirkan makanan-makanan tersebut, sehingga tidak melanggar tradisi turun temurun saat pementasan golek dilakukan.” Tambah mas Sugeng. 

Namun sayangnya, tradisi-tradisi pentas wayang sebagaimana yang diutarakan mulai memudar khususnya di wilayah Kabupaten Tangerang. Sudah jarang terlihat pentas wayang golek dengan kesakralan yang semestinya, saat ini wayang golek hanya dilihat dari perspektif estetika, tidak sampai esensi. Apalagi perkembangan jaman dengan segala kekuatannya mencoba untuk mengelaborasi wayang golek dengan modernitas.

Mas Sugeng mengungapkan keprihatinanya kepada tradisi wayang golek di kabupaten tangerang. Padahal pada rentang waktu 10 tahun ke belakang, pentas wayang golek masih sangat mudah dijumpai, biasanya mudah ditemukan dalam acaa-acara pernikahan, sunatan atau yang seing orang sunda bilang sebagai hajatan. menurutnya “kesenian tradisional kita (termasuk wayang golek) sudah mengalami kemerosotan, percampuran antara tadisi modern dan tradisional membuat kesenian kita semakin kehilangan jati dirinya. Orang sekarang tidak akan percaya bahwa di dalam pentas wayang ada keyakinan mistis yang membantunya. Kita telah tercerabut dari tradisi kita sendiri.” 

Dengan kata lain, transisi rasionalitas total membuat kesenian tradisional semakin terpuruk, padahal Indonesia sangat kaya akan kebudayaan, walaupun kebudayaan yang sering dianggap sebagai mitos belaka. Barangkali memang benar bahwa tradisi mistis dalam pentas wayang mulai memudar di wilayah Kabupaten Tangerang, tetapi dengan mengungkapkan esensi dari kredo itu diharapkan kita bisa menanggulangi kemerosotan tradisi ini dengan melihat identitas lama sebagai pijakan kita untuk menjadi manusia yang memiliki indentitas diri. Karena bagaimanapun identitas diri bisa diraih ketika kita mengetahui dari tanah jenis apa diri kita dilahirkan dan leluhur seperti apa yang sebelumnya telah lahir terlebih dulu sebelum kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline