Lihat ke Halaman Asli

Kuda Troya Itu Bernama Jokowi-Ahok

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kemarin (Kamis, 6/7/2012) beberapa media cetak terbitan ibukota memberitakan kegelisahan para aktifis HAM tentang perkembangan Pemilihan Gubernur (pilgub) DKI Jakarta yang tengah memasuki putaran kedua. Kegelisahan itu diungkapkan oleh Al Araf seorang pegiat HAM dari Imparsial. Menurut Al Araf, mereka khawatir jika pada Pilgub Jakarta 2012 ini nantinya dimenangkan oleh Jokowi-Ahok. Apabila Jokowi-Ahok yang terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, maka dengan sendirinya akan melapangkan jalan bagi terpilihnya Prabowo Subianto (PS) dalam pemilihan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014. Hal ini mengingat PS merupakan tokoh utama di balik pencalonan Jokowi-Ahok pada Pilgub kali ini. Jika PS pada 2014 terpilih menjadi presiden, maka dikhawatirkan masa depan penegakan hak asasi manusia di Indonesia akan semakin suram.

Bagi para pegiat HAM, memori kelam yang mengiringi runtuhnya rejim Orde Baru berupa penculikan para aktifis, kasus orang hilang, tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei 1998 merupakan sejumlah kasus yang belum tuntas dipertanggungjawabkan oleh PS yang saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus dan kemudian menjadi Pangkostrad. Rekam jejak Sang Jenderal yang bersimbah darah inilah yang membuat para aktifis merasa khawatir dengan kehadiran Jokowi-Ahok yang secara total didukung oleh PS. Kekhawatiran di atas bagi penulis sangatlah wajar dikarenakan ada fakta masa lalu yang masih terekam dengan baik oleh publik di Indonesia bahkan di dunia internasional. Alih-alih bertanggung jawab, PS malah kemudian mencari suaka alias bersembunyi di Yordania. Ketika hari ini hasil survey menunjukkan bahwa popularitas dan elektabilitas para capres menempatkan PS sebagai capres unggulan, kekhawatiran itu semakin menjadi-jadi. Jokowi-Ahok hanyalah akan menjadi tumpangan bagi PS dalam memenuhi ambisi pribadinya di tahun 2014 dan Jakarta hanyalah karpet merah yang akan memuluskan PS 'menguasai' republik ini.

Kegelisahan Al Araf dan para pegiat HAM di atas mengingatkan penulis akan kisah film "The Troy" yang menceritakan kehancuran negeri Troya oleh tentara Yunani di bawah pimpinan Achilles. Pasukan Yunani yang menyerbu Troya kewalahan dengan kokohnya benteng dan solidnya pertahanan pasukan Troya. Bahkan pasukan Yunani berhasil dipukul mundur hingga ke pantai dan sebagian kapalnya dibakar oleh pasukan Troya. Merasa berhasil memukul mundur pasukan Yunani, para laskar Troyapun bergembira kembali ke istana. Kegembiraan semakin bertambah setelah mereka saksikan bahwa sisa-sisa pasukan Yunani yang tadinya dibiarkan hidup nampak di depan mata seperti mati bergelimpangan oleh wabah penyakit di tepi pantai Troya. Penguasa Troyapun dikejutkan dengan adanya patung kayu raksasa berbentuk kuda di dekat para tentara Yunani yang bergelimpangan. Melihat bentuknya yang menarik, penguasa Troya kemudian memerintahkan pasukannya untuk menarik patung tersebut ke dalam benteng Troya. Patung kuda ini kemudian diletakkan di tengah-tengah kota.

Patung yang kemudian dikenal dengan "Kuda Troya" ini disambut bak pahlawan dan dirayakan dengan pesta meriah oleh seisi warga Troya hingga tengah malam. Ketika pesta berakhir dan kota mulai lengang, dari dalam Kuda Troya keluarlah Achilles dan beberapa pasukan Yunani yang dengan sigap membuka pintu gerbang benteng Troya serta memberikan isyarat kepada ribuan tentara Yunani yang telah menunggu di tepi pantai. Ribuan tentara Yunani inipun dengan mudahnya memasuki benteng Troya dan menghancurkan apa saja yang mereka lewati serta membunuh penguasa Troya yang sedang terlelap tidur. Keputusan membawa Kuda Troya ke tengah kota itulah menjadi awal petaka kehancuran negeri Troya oleh Achilles dan pasukannya dari Yunani.

Kisah di atas apabila ditarik pada fenomena politik terkini di Jakarta, maka akan didapati beberapa kesamaannya terkait dengan kegelisahan para aktifis pejuang HAM. Jokowi-Ahok yang begitu menarik simpati publik dan bahkan menjadi media-darling telah membuat rakyat Jakarta terpukau dan mayoritas memilih pasangan ini pada Pilgub DKI putaran pertama. Kuda Troya nampaknya persis dengan sosok Pasangan Jokowi-Ahok hari ini yang begitu memukau publik Jakarta dan tanah air. Puja-puji terhadap pasangan ini tidak henti-hentinya mengalir diterima oleh Jokowi-Ahok. Mulai dari pengamat, pemimpin ormas, tokoh-tokoh nasional dan berbagai kelompok berbondong-bondong mendukung Jokowi-Ahok. Relawannya pun hadir dari berbagai elemen disertai kerja-kerja kreatif untuk meyakinkan publik bahwa Jokowi-Ahol adalah figur yang paling layak memimpin DKI Jakarta kedepan. Begitu antusiasnya publik mendukung Jokowi-Ahok bisa digambarkan seperti betapa bergembiranya rakyat Troya menyambut kehadiran Kuda Troya di tengah kota.

Publik sudah terlanjur euforia dengan pencitraan yang luar biasa terhadap pasangan Jokowi-Ahok. Kesan populis yang dilekatkan pada pasangan ini membuat sebagian besar rakyat Jakarta tidak lagi memperhatikan siapa tokoh utama di balik kemunculan Jokowi dan Ahok menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta. Sama halnya dengan penguasa dan rakyat Troya yang tidak tertarik mencari tahu apa yang ada di dalam patung Kuda Troya. Jokowi-Ahok sudah terlanjur dianggap sebagai Sang Mesias bagi Jakarta yang memiliki kompleksitas masalah. Adapun pesaingnya yakni Foke-Nara dianggap tidak layak untuk memimpin Jakarta keluar dari berbagai persoalan terutama macet dan banjir. Begitu antusiasnya mendukung Jokowi-Ahok, sampai-sampai semua hal yang ditampilkan oleh pasangan ini terutama penggunaan baju kotak-kotak turut menjadi tampilan keseharian para pendukung dan simpatisannya.

Publik di Jakarta maupun di tanah air harusnya sadar untuk mencermati fenomena Jokowi-Ahok di ibukota hari ini. Alangkah baiknya warga mengetahui secara mendalam siapa yang ada di balik pencalonan kedua figur ini dan apa kepentingannya dengan pencalonan mereka sebagi kepala daerah di Jakarta. Begitupun juga dengan reputasi yang dimiliki oleh tokoh king makers tersebut perlu menjadi perhatian serius karena memilih kepala daerah bukanlah memilih kucing dalam karung. Begitu getolnya Prabowo Subianto (PS) meyakinkan Megawati untuk memasangkan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Purnama (Ahok) sebagai kandidat kepala daerah di Jakarta merupakan isyarat betapa besarnya ambisi sang jenderal untuk mengejar kepentingan pribadinya. Padahal saat itu pembicaraan Demokrat dan PDIP hampir final untuk mengusung kembali Fauzi Bowo pada Pilgub DKI Jakarta 2012. Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia sehingga PS sadar bahwa Pilgub di Jakarta akan menjadi barometer bagi perpolitikan nasional terutama sebagai pemanasan menuju pemilihan presiden tahun 2014. Menang di Jakarta hari ini berarti akan memudahkan langkah memenangkan perebutan jabatan Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Karena kesadaran itulah maka PS secara total, mengerahkan kekuatannya baik secara politik maupun finansial bagi terpilihnya Jokowi-Ahok sebagai kepala daerah di Jakarta.

Padahal sejarah kelam di akhir Orde Baru masih tercatat dengan besarnya peran PS dalam berbagai kasus pelanggaran HAM saat itu. Penculikan dan penyiksaan para aktifis pejuang demokrasi yang dilakukan oleh unit khusus pada satuan Kopassus sampai hari ini belum ada penyelsaiannya secara hukum. Sang Komandan Jenderal saat itu yakni Prabowo Subianto haruslah bertanggung jawab. Begitupun dengan hilangnya para aktifis yang hingga saat ini tidak pernah kembali. PS sama sekali tidak merasa bersalah akan kasus tersebut. Kemudian disusul dengan Tragedi Trisakti yang memakan korban nyawa beberapa mahasiswa, hingga hari ini tokoh utama di balik penembakan belum juga ditindak secara hukum. Berikutnya adalah kerusuhan Mei 1998 berupa penjarahan pertokoan di kawasan yang didominasi oleh warga keturunan Tionghoa. Ratusan nyawa melayang dan milyaran harta terbakar serta hilang oleh aksi yang sistematis ini. Sang Pangkostrad saat itu hanya dicopot dari jabatannya dan tidak berselang lama pergi meninggalkan Indonesia dan bersembunyi di Timur-Tengah.

Rakyat Indonesia dan warga Jakarta jangan pernah sekalipun melupakan sejumlah peristiwa kelam tersebut. Memaafkan bukan berarti melupakan. Bagaimana mungkin bisa memaafkan bila yang harusnya bertanggung jawab dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM dimaksud tidak pernah sekalipun menyampaikan permohonan maaf kepada publik. Ataukah dengan mendorong Ahok sebagai pendamping Jokowi merupakan bentuk permohonan maaf dari PS? Bagi yang tidak amnesia, rasanya perlu untuk secara proporsional memposisikan tempat yang layak bagi mereka yang memiliki reputasi buruk dalam perkembangan penegakan HAM di Indonesia. Memberikan keleluasaan bagi mereka di panggung politik lokal dan nasional sama halnya dengan membiarkan sejarah kelam tersebut untuk terulang kembali. Cukuplah Achilles dan pasukannya menumpang Kuda Troya untuk menghancurkan negeri Troya dan seisinya. Janganlah membiarkan Jokowi-Ahok memenangkan Pilgub DKI Jakarta sehingga memuluskan PS mengulang kembali kekelaman Indonesia pada penghujung Orde Baru. Berpikirlah kembali wahai rakyat jakarta. Mumpung masih ada waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline