Lihat ke Halaman Asli

Pemimpin Berkapasitas bukan Raja Midas

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lengangnya jalanan di Jakarta pada libur lebaran kemarin merupakan pemandangan klasik yang muncul setiap tahunnya. Jalanan macet, antrian panjang di pintu tol, trotoar yang diserobot kendaraan bermotor dan banyak lagi turunan dari efek macet sekejap hilang dari ibukota. Bak Raja Midas yang mengubah gubuk jerami dalam sekejap mata menjadi istana emas kemilau, libur lebaranpun dengan dahsyatnya mampu menghilangkan kemacetan yang sudah identik dengan Jakarta. Sayangnya fenomena di atas hanya berlangsung singkat karena pasca lebaran, arus balik pemudik kembali meramaikan Jakarta. Ditambah dengan arus urbanisasi yang semakin meningkat membuat Jakarta yang sudah sedemikian padat menjadi bertambah padat.

Tidak ada yang bisa disalahkan dengan semakin padatnya Jakarta hari ini. Rakyat dari seluruh penjuru Nusantara sudah terlanjur merasa memiliki terhadap ibukota republik ini sehingga berbondong-bondonglah mereka berdatangan meraih mimpi dan mengadu keberuntungan. Jakarta jauh sebelum Indonesia merdeka, masa Batavia, Jayakarta, bahkan masa Sunda Kelapapun telah menjadi magnet yang mengundang orang-orang dari berbagai wilayah di Nusantara, Asia Tenggara dan bangsa asing lainnya berdatangan dengan semangat memperbaiki hidup mereka. Keberadaan Jakarta yang demikian itu membuat sangatlah naif kalau kemudian fenomena kemacetan dan juga banjir hari ini hanya ditimpakan kesalahannya pada pundak sang Gubernur DKI Jakarta saat ini.

Meskipun telah menjadi fakta sosial di ibukota, padatnya Jakarta yang berimbas pada banjir dan kemacetan tetaplah merupakan masalah pelik yang hingga hari ini belum bisa teratasi dengan komprehensif. Belum lagi efek yang ditimbulkan dari masalah kepadatan Jakarta seperti tindak kriminal tak terhindarkan menjadi warna lain dari kota metropolitan ini. Begitu sistemiknya masalah tersebut membuat warga terus dilanda keresahan yang berkepanjangan. Untuk menjawab keresahan warga Jakarta, setiap Pemilihan umum, baik untuk legislatif maupun gubernur, tampillah banyak figur yang optimis akan menyelesaikan berbagai permasalahan pelik itu sekiranya terpilih menjadi pemimpin. Seperti pada pemilihan gubernur (Pilgub)DKI Jakarta kali ini, sejumlah pihak terutama yang berkontestasi sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur hadir menawarkan solusi-solusi menyelesaikan permasalahan Jakarta.

Realitas hasil Pilgub putaran pertama kemarin telah menyisakan pasangan Jokowi-Ahokdan Foke-Nara untuk bersaing memperebutkan jabatan kepala daerah pada putaran kedua yang akan berlangsung pada 20 september 2012. Yang mengejutkan adalah tampilnya Jokowi-Ahoksebagai pemenang sementara dengan menyisihkan incumbent di posisi kedua. Sejumlah kisah sukses semasa memimpin Solo dan Belitung Timur dijadikan bahan kampanye dalam merebut simpati rakyat pemilih. Pola tersebut nyata-nyata telah mempengaruhi sebagian besar pemilih untuk mencoblos Jokowi-Ahokpada Pilgub DKI putaran pertama. Pasangan ini dianggap lebih mampu menyelesaikan peliknya permasalahan Jakarta ketimbang pasangan lainnya. Jokowi-Ahokdipandang akan dapat menyelesaikan kemacetan, banjir dan masalah lainnya sekiranya terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017. Rakyatpun dihinggapi ekspektasi yang sangat tinggi terhadap pasangan fenomenal ini.

Para pengamatpun berlomba-lomba memberikan analisis yang spektakuler terhadap kemenangan Jokowi-Ahokpada pilgub putaran pertama. Puja-puji tidak putus-putusnya diterima oleh Jokowi-Ahok. Mereka akhirnya terlanjur dianggap sebagai figur yang paling tepat mengatasi keruwetan permasalahan Jakarta. Pasangan ini diibaratkan Raja Midas yang dalam sekejap sentuhannya mampu mengubah gubuk jerami menjadi istana emas. Benarkah kedua tokoh ini dapat dengan mudahnya mengubah Jakarta hari ini MENUJU JAKARTA BARU seperti slogan kampanyenya? Apakah rekam jejak mereka selama ini cukup untuk menyulap Jakarta berubah menjadi kota yang bebas macet dan banjir? Apakah tidak berlebihan rakyat memberikan ekspektasi yang tinggi terhadap kedua calon pemimpin ini?

Ada baiknya warga Jakarta lebih berhati-hati dalam menentukan pilihannya pada pilgub putaran kedua. Hal ini dikarenakan putaran kedua merupakan kesempatan terakhir bagi warga Jakarta untuk menentukan masa depan Jakarta lima tahun kedepan. Setelah memberikan suaranya nanti pada 20 september 2012, maka warga Jakarta sudah tidak berhak lagi menentukan hitam-putihnya Jakarta selama lima tahun. Mereka yang terpilihlah yang akan sepenuhnya memerintah dan membangun Jakarta. Sekiranya Jokowi-Ahokmenang pada putaran kedua, maka pasangan inilah yang sepenuhnya memiliki kekuasaan untuk mengatur Jakarta. Dari balik meja birokrasinya, kedua tokoh ini akan menentukan nasib kota terbesar di Asia Tenggara ini untuk maju dan berkembang atau sebaliknya terpuruk dan tertinggal.

Midas (bahasa Yunani: Μίδας) adalah salah seorang raja dalam mitologi Yunani. Ketika Midas tumbuh dewasa, rakyat Frigia sedang menderita perang saudara. Menurut salah seorang bijak di Frigia bernama Orakel, akan datang sebuah kereta yang membawa raja yang akan mengakhiri perselisihan di antara rakyat Frigia. Ketika mereka sedang membahasnya, Midas tiba mengendarai kereta bersama orang tuanya. Rakyat Frigia merasa bahwa Midas adalah orang yang dimaksud oleh Orakel. Midas pun diangkat menjadi raja Frigia. Oleh para dewa, Midas dianugerahi keajaiban dalam tangannya yakni kemampuannya untuk mengubah semua yang ia sentuh menjadi emas. Kemampuannya disebut sebagai sentuhan Emas atau sentuhan Midas. Dia menyentuh pohon dan batu, yang langsung berubah menjadi emas. Saat berada di istananya untuk makan, makanan dan minumannya pun berubah menjadi emas akibat sentuhannya. Bahkan anak perempuannya dia sentuh dan berubah menjadi emas. Midaspun menyesali kemampuannya itu. Dia berdoa pada dewa untuk menghilangkan kemampuannya dan menjadikannya seperti semula.

Kisah raja Midas tersebut menggambarkan betapa rakyat suatu negeri yang berharap hadirnya pemimpin yang akan mengeluarkan mereka dari masalah. Pemimpin yang terpilihpun ternyata tidak menjawab harapan rakyat dikarenakan kemampuannya yang tidak sesuai dengan kebutuhan saat itu. Sentuhan emas sang raja justru membawa petaka bagi sang raja dan rakyatnya. Begitupun dengan Pilgub DKI Jakarta hari ini yang mana mayoritas pemilih putaran pertama, diikuti media massa dan para pengamat mengantungkan harapannya pada Jokowi-Ahok. Bahwa mereka berdua punya prestasi saat memimpin Solo dan Belitung Timur hal itu biarkanlah sejarah yang bicara. Pengalaman tersebut sesungguhnya belum cukup menjadi bekal dalam memimpin Jakarta.

Kota Solo yang masyarakatnya cukup kental dengan budaya feodal sangat memudahkan Jokowi memerintah wilayah tersebut. Apalagi luasnyapun tidak sebanding dengan DKI Jakarta. Begitupun dengan Ahok yang hanya mengandalkan pengalaman memimpin sebuah wilayah kecil bagian timur pulau Belitung. Itupun tidak sampai tuntas dikarenakan hasrat kuasa yang berlebih untuk menjadi Gubernur Bangka Belitung.Rakyat di kedua wilayah tersebut tidak begitu sulit untuk diatur. Sedangkan Jakarta yang penduduknya heterogen beserta masalah hidup yang kompleks sangatlah berbeda dengan Solo maupun Beliitung Timur. Keterkejutan demi keterkejutanlah yang akan kedua tokoh ini alami saat memimpin DKI Jakarta. Adakah kemacetan parah yang terselesaikan di Solo dan Belitung Timur sehingga mereka dianggap mampu menyelesaikan kemacetan di Jakarta? Adakah sebaran yang meluas jumlah para pedagang kaki lima di kedua wilayah sehingga publik menilai mereka layak menertibkan PKL di Jakarta? Ataukah karena sanggup mengatasi banjir di kedua wilayah tersebut sehingga mereka pantas menjadi kepala daerah di Jakarta?

Kompleksitas persoalan Jakarta sangat berbeda dengan masalah yang dihadapi rakyat Solo dan Belitung Timur. Karena sangat kompleks inilah maka sangatlah tidak tepat apabila nasib pembangunan dan pemerintahan Jakarta lima tahun kedepan diserahkan kepada figur yang sesungguhnya masih sangat terbatas kapasitas dalam memimpin. Sangatlah berlebihan apabila rakyat Jakarta kemudian menaruh harapan kepada pasangan Cagub-Cawagub yang berkemampuan pas-pasan dalam memimpin daerah. Memberikan beban kepada orang yang tidak sanggup memikul beban tersebut sama saja dengan menganiaya orang tersebut. Kalau hanya menganiaya Jokowi-Ahok mungkin terlalu kecil perkaranya. Yang menjadi bencana ialah akibat pilihan tersebut berdampak pada nasib Jakarta dan warganya yang semakin tak menentu dikarenakan salah dalam memilih pemimpin.

Jakarta bukanlah wahana untuk latihan atau percobaan memimpin. Jakarta adalah cermin wajah Indonesia di mata dunia sehingga hanya mereka yang berkapasitas memadailah yang layak memimpin ibukota negara ini. Bukan zamannya lagi berharap secara instan melakukan perubahan seperti kisah Raja Midas dalam mitologi Yunani. Berharap adanya perubahan merupakan sebuah kewajaran. Akan tetapi berusaha secara nyata lewat kerja-kerja yang sistematis dan terukur dalam memajukan Jakarta merupakan sebuah keharusan. Jakarta membutuhkan pemimpin yang cerdas serta berkapasitas dan tidak membutuhkan hadirnya Raja Midas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline